Jadi, stop anggapan bahwa kerusuhan yang terjadi adalah kerusuhan antar suku, ras apalagi agama. Memang, seperti halnya konflik lainnya, ada bibit-bibit permasalahan sosial yang harus segera kita pikirkan bersama dan segera diselesaikan bersama.Â
Tentang leluka masa lalu, kesenjangan sosial yang begitu tinggi serta rasa keadilan yang harus segera dituntaskan membutuhkan kerja serius dan tindakan dari hati yang berempati tinggi dari "Jakarta" demikian kami - menyebut.Â
Jangan lagi memandang Papua dari sisi "Jakarta" melainkan, berdiri dan memandanglah Papua, dari dimana Orang Papua - dengan segala latar belakang budaya, kepercayaan dan adat istiadatnya berpijak.Â
Papua, pastilah mengerti dan memaham serta melaksanakan tentang bagaimana saling menghargai perbedaan. Sebab di lelompok asli di Papua terdiri atas 255 suku dengan bahasa yangmasing-masing berbeda.Â
Beberapa contoh suku tersebut yakni suku Aitinyo, Arfak, Asmat, Agast, Ayamaru, Empur, Mandacan, Biak, Arni,Sentani, Waropen, Tobati, Ka moro, Dani, Sentani  dan begitu banyak lagi suku-suku yang ada di Papua. Belum lagi filsafat agung Papua, "Ko, on, kno mi mbi du Qpona" yang artinya "Satu tungku tiga batu",  yang merupakan  dasar kerukunan di Fak-fak, Papua Barat.Â
Tungku adalah simbol dari kehidupan, sedangkan tiga batu adalah simbol dari "kau", "saya" dan "dia" yang berarti perbedaan baik agama, suku, status sosial dalam satu wadah persaudaraan. Namun tentunya, laksana tungku, haruslah  imbang, tidak boleh timpang. Kalau tidak, kuali akan jatuh dan pecah.
Ketika kita berada di tengah-tengah masyarakat Papua dan berbaur bersama mereka  maka kita akan rasakan hangatnya persaudaraan dan penghargaan sesama saudara. Setidaknya itulah yang saya rasakan saat jalan dan tinggal sendiri di Papua karena tugas.Â
Saat berada di angkot, meski saya yang paling berbeda, namun tetap saja mereka terasa hangat saat bercakap. Terasa sekali peribahasa "wenekak nyelokokennowa lak-lak egarek" yang artinya berbincang dengan orang harus menatap muka.Â
Bahkan kerap saat jalan sendiri di Papua Barat kala itu - saya disapa dan diajak duduk bersama dan makan bersama. "Duduk sini Kaka, makan kita" jadi mengingatkan saya akan peribahasa  ilimeke-timeke inasokneat nukunembe inowasiweak, inayaklah inombe weat libiklibik nekarek,  yang artinya segala sesuatu bila dinikmati sendiri membuat badan berbau busuk, sebaiknya nikmatilah bersama dengan teman walau sekecil apapun'.
Maknanya adalah peribahasa ini mengajarkan bahwa kehadiran orang lain merupakan anugerah hidup bersama dalam masyarakat dengan melawan sikap tertutup atau egoistis. Begitulah saya meyakini, apa yang terjadi di Wamena bukanlah konflik karena SARA.Â
Karena Papua - sekali lagi - adalah penuh cinta. Tak hanya alamnya yang penuh keindahan, namun masyarakatnya juga hangat dan bersahabat kepada sesama. Namun tentu, laksana sebuah tungku -  laksana tungku, haruslah  imbang, tidak boleh timpang. Kalau tidak, kuali akan jatuh dan pecah.Â