Terhenyak saya ketika seorang yang diduga melakukan tindak korupsi, kemudian saat ditahan sebagai tersangka, dia bilang," Ini takdir saya."
Saya terhenyak.. laksana seorang pencuri yang tertangkap kemudian ditahan dan berkata "Ini takdir saya.."Â
Pertanyaannya kemudian:
1. Benarkah perkataan saya tersebut? Bahwa ketika saya mencuri dan saya ditangkap kemudian saya memberikan pernyataan "Ini adalah takdir saya?"
2. Apakah takdir tersebut?
Belajar lebih mendalam lagi yuk..
Bismillah.. pertama, untuk pertanyaan yang menyeruak dalam hati nurani saya, Bahwa ketika saya mencuri dan saya ditangkap kemudian saya memberikan pernyataan "Ini adalah takdir saya" Benarkah pernyataan tersebut?
maka teringatlah saya satu ayat dalam al quran..."Orang-orang yang menyekutukan Allah akan mengatakan, "Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak menyekutukan-Nya dan tidak pula kami mengharamkan barang sesuatu pun."
Demikian pula orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah, "Adakah kalian mempunyai suatu pengetahuan sehingga kalian dapat mengemukakannya kepada Kami?"
Kalian tidak mengikuti selain persangkaan belaka, dan kalian tidak lain hanyalah berdusta." (al-An'am: 148) catatan: pelajari sebab musabab turunnya ayat ini ya...
maka akan kita dapati satu fakta bahwa inilah jawaban dari Allah ketika kaum musyrikin ingin menghindari celaan atas perbuatan syirik mereka dengan alasan in sebagai merupakan bentuk pembenaran atas kesyirikan yang terus-menerus mereka perbuat. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta'ala menolak alasan mereka.Â
Kedua, memahami hakikat takdir. Â Pertama kali yang terlintas dalam benak saya adalah kembali mengingat tentang rukun iman dalam Islam. Hayoo.. apa saja rukun iman itu? Ingat kan?
 "Engkau beriman kepada (1) Allah, (2) malaikat-Nya, (3) kitab-kitabNya, (4) para Rasul-Nya, (5) hari akhir, dan beriman kepada (6) takdir, baik takdir yang baik maupun takdir yang buruk." (HR. Muslim no. 8). Nah, jadi takdir itu apa? Bilamana takdir itu ditetapkan?
Takdir itu apa? Takdir ada dua yaitu qadha dan qadarAllah. Al qadar (takdir Allah) dan Al qadha (ketetapan Allah). Jadi secara bahasa, al-qadar berarti akhir dan batas dari sesuatu, maka pengertian "menakdirkan sesuatu" adalah mengetahui kadar dan batasannya.
Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan al-qadar (takdir) [al-Qamar/54:49]
Imam Ibnu Katsr rahimahullah berkata, "Para Imam Ahli Sunnah memegangi ayat yang mulia ini sebagai dasar (wajibnya) menetapkan takdir Allh Azza wa Jalla yang mendahului semua makhluk-Nya, yang berarti (meyakini bahwa) Dia Maha Mengetahui segala sesuatu sebelum terjadi, dan Dia telah menuliskannya (dalam Lauhul Mahfzh) sebelum menciptakannya."(Kitab Tafsr Ibnu Katsr (4/341).
Qadha lebih dahulu dari pada qadar. Qadha adalah ketetapan Allah di zaman azali. Sementara qadar adalah ketetapan Allah untuk apapun yang saat ini sedang terjadi.
dalilnya:
" Sesuatu itu telah diqadha" [Yusuf /12: 41]
"Allah mengqadha' dengan benar" [Ghafir/40 : 20]
"Allah telah menulis takdir seluruh makhluk sebelum menciptakan langit dan bumi dengan tenggang waktu 50 ribu tahun." (HR. Muslim)
Lantas...
Bolehkah ketika kita korupsi, ditangkap dan ditahan kita menyatakan, "Ini takdir saya"?
Keimanan kepada qadar tidaklah memperkenankan pelaku kemaksiatan untuk beralasan dengannya atas kewajiban yang ditinggalkannya atau kemaksiatan yang dikerjakannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, "Tidak boleh seseorang berdalih dengan takdir atas dosa (yang dilakukannya) berdasarkan kesepakatan (ulama) kaum muslimin, seluruh pemeluk agama, dan semua orang yang berakal.
Seandainya hal ini diterima (dibolehkan), niscaya hal ini dapat memberikan peluang kepada setiap orang untuk melakukan perbuatan yang merugikannya, seperti membunuh jiwa, merampas harta, dan seluruh jenis kerusakan di muka bumi, kemudian ia pun beralasan dengan takdir.
Ketika orang yang beralasan dengan takdir dizhalimi dan orang yang menzhaliminya beralasan yang sama dengan takdir, maka hal ini tidak bisa diterima, bahkan kontradiksi. Pernyataan yang kontradiksi menunjukkan kerusakan pernyataan tersebut. Jadi, beralasan dengan qadar itu sudah dimaklumi kerusakannya di permulaan akal".
(baca lebih lanjut dalam:Â Majmuu'ul Fataawaa, (VIII/179). Lihat juga, 'Iqtidhaa' ash-Shiraathal Mustaqiim, (II/858-859).
Karena perkara ini menimbulkan banyak bencana, maka inilah pemaparan mengenai sebagian dalil-dalil syar'i, 'aqli (akal), dan kenyataan, yang menjelaskan kebathilan dengan beralasan kepada qadar (takdir) atas perbuatan maksiat, atau dari meninggalkan ketaatan.Â
(Baca lebih lanjut dalam:Minhaajus Sunnah an-Nabawiyyah, (III/65-78). Dan lihat, Majmuu'ul Fataawaa, (VIII/262-268), Rasaa-il fil 'Aqiidah, hal. 38-39, dan Lum'atul I'tiqaad bi Syarh Muhammad bin 'Utsaimin, hal. 93-95).
Sebagai penutup maka cukuplah Al Quran sebagai pengingat bagi kita untuk senantiasa mematuhi perintahNya dan menjauhi laranganNya:
"(Mereka Kami utus) selaku Rasul-Rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-Rasul itu... ". [An-Nisaa'/4 : 165]
Untuk bahan pengkayaan ilmu, yuk baca referensi-refensi berikut:
https://muslim.or.id/47685-rukun-iman-antara-lima-atau-enam.htmlÂ
https://asysyariah.com/menjawab-kejanggalan/
https://muslimah.or.id/10445-iman-kepada-takdir-allah-taala.htmlÂ
https://konsultasisyariah.com/31768-beda-qadha-dan-qadar.htmlÂ
https://almanhaj.or.id/191-apakah-perbedaan-antara-qadha-dan-qadar.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H