Mohon tunggu...
handrini
handrini Mohon Tunggu... Lainnya - Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional

world are wide, but there's only small spot to make a mistake, Be wise, get grow, so can mature at the same time. be wise it's not easy eithout make wisely as a habit

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bekal Babi Panggang (Belajar Toleransi dari ABG)

7 Oktober 2016   14:11 Diperbarui: 7 Oktober 2016   14:32 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisruh isu blunder Al Maidah 51 mengingatkan saya pada dialog "biasa" ibu dan anak. Anak saya yang masih Baru Gede alias ABG memang kerap membawa kisah-kisah "seru" sepulang sekolah. Seperti biasa, saya mendengarkan dan berkomentar dan kerap kali "terpaksa" menambahkan nasehat disana sini dengan berusaha untuk tidak berkesan menasehati, atau kadang sesekali kembali saya menegaskan apa yang pernah kami bicarakan sebelumnya. Ironisnya kisah bekal babi panggang ini dikisahkan Puteri ABG saya saat sedang makan. Karena baru pulang kerja, kami pun makan terlambat. Ketiga puteri kami sudah makan sore terlebih dulu. Sambil membawa HP - rasanya HP itu jarang terlepas dari genggamananya - Putri saya memulai percakapan: 

"Tadi masa Rei bawa bekal babi panggang deh Ma"
 "Lhah terus apa masalahnya? Kan Rei kristen ini. Kan memang ga masalah.." jawab saya

 "Iya sih Ma, tapi kan spontan kakak ingat babi itu haram dan ingat tayangan kesehatan kalau banyak cacingnya jadi iuuu gitu. Eh Rei ngeliat ekspresi kakak kali..terus Rei tanya kok muka kamu gitu sih?"
 "Terus kakak jawab apa?" tanya saya penasaran
 "Kakak bilang ya ga papa.."
 "Bagus.. jangan sampai deh kakak komen kok kamu makan babi sih..kan babi haram..banyak cacingnya lagi, makanya diharamkan..kakak ga bilang gitu kan?" sergah saya khawatir.
 "Ya ga lah Ma.. kan kata Mama ga boleh ngomentarin soal aturan agama orang lain kecuali memang orang itu bertanya..atau ngajak diskusi," sahut puteri saya cepat.
 "Yup kalau dikit-dikit kita komenin aturan agama orang lain bisa kacau. Lagian ingat Islam sangat menjunjung tinggi toleransi, untukmu agamamu, dan untukku agamaku."
 "Tapi iuu banget Ma ngeliat bekelnya," kata puteri saya seraya menampakan mimik seolah orang yang mau muntah.
 "Ga papa.. yang penting ga disuruh ikut makan ini. Kalau disuruh makan baru kakak harus nolak dengan tegas karena di Islam yang halal dan haram itu jelas batasannya. Makanya ada Al Quran sebagai pembeda mana yang boleh dilakukan dan mana yang nga boleh dilakukan."
 "Iya sih Ma..makanya kakak tahan diri aja ga komen macam-macam soal bekel Rei. Kan menurut agama Rei ga haram ini meski menurut kakak kok aneh sih babi diperbolehkan untuk dimakan padahal cacingnya ga mati sekalipun dimasak. Tapi kalau kakak komen gitu, khawatir kakak, ntar Reinya marah lagi.."

"Untungnya juga kakak ga mempermasalahkan mengapa untuk Rei makan babi tidak haram.." celetuk saya.

"Haha.. mama kok tahu sih kalau kakak nyaris ngomentarin Rei gitu.." seloroh anak saya.

"Ya tahu-lah kan kamu anak mama," jawab saya.

"Iya Ma.. nyaris aja. Tapi ya ditahan aja, daripada berantem repot dah Ma," jawab si Bocah.

 Saat mendengarkan kisah itu saya tercenung. Ketika mengingat kisah si bocah, saya sekarang  merenung. Terselip rasa syukur.. si anak setidaknya belajar menahan lisan sekalipun dia "iuuu" karena khawatir temannya tersinggung. Mendadak teringat dan akhirnya terbetik membagikan dialog ringan ibu-anak ini. Setidaknya untuk pengingat diri untuk menahan diri dalam mengomentari aturan-aturan dalam agama lain yang menurut kita tidak sesuai karena itu tentu akan menimbulkan ketersinggungan dan kemarahan bagi si pemeluk agama itu. 

Sekedar catatan, saat mendengarkan kisah bocah sembari melihat mimik mukanya yang memperlihatkan wajah dia mau muntah, saya memahami betapa tidak mudah bagi puteri saya untuk menahan diri tidak menyampaikan rasa "iuuu"nya itu kepada Rei, temannya. Puteri saya memang berteman cukup akrab dengan Rei dan Al Farizi. Putri saya paling tidak bisa melihat atau mengingat hal-hal yang bagi dirinya mengundang rasa tidak nyaman. Bahkan adiknya kerap jadi sasaran teguran ketika tidak sengaja makanan di piringnya membuat Putri pertama saya kurang nyaman misalnya, makanan di piringnya teraduk-aduk atau tidak rapi posisinya. 

Bagi ibunya, saya sendiri takjub dengan kemampuan puteri pertama saya menahan diri untuk tidak mengomentari bekal babi panggang temannya demi menjaga kenyamanan dari temannya, sebab segala sesuatu yang berkaitan dengan agama dan segala macam aturannya sangat mudah membuat kita tersinggung. Semoga kita mampu meneladani sikap-sikap dari putra-puteri kita yang bersedia menahan diri untuk tidak memberikan komentar berkaitan dengan segala hal yang dapat menyinggung perasaan umat beragama lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun