Saya jadi memahami, ketika usai melihat satu demi satu foto jenazah korban Merpati dalam berbagai kondisi yang wajib didokumentasikan seluruhnya oleh anggota Basarnas, tetap saya harus mampu untuk menelan makanan yang tentunya disajikan sesuai kebutuhan. Misalnya saja saat ditengah hutan, maka alternatif terbanyak untuk menyiapkan makanan adalah dengan membakarnya, lalu sanggupkan kita menelannya setelah kita melihat beberapa (maaf) potongan jenazah yang terbakar? Sama halnya dengan para rescueritu, saya berusaha menelan potongan demi potongan makanan yang disajikan dengan dibakar meski beberapa saat sebelumnya saya menyaksikan hal yang membuat nafsu makan saya mendadak pergi entah kemana. Namun demi menjaga stamina saya harus makan.
Mendadak terbayangkan pengalaman beberapa teman rescuer lain saat melakukan proses evakuasi jenazah korban Sukhoi Superjet 100 di kawasan Gunung Salak. Mereka harus bermalam karena helikopter Super Puma yang disiapkan untuk evakuasi tidak mampu menembus tebalnya awan. Bermalam tiga kantong jenazah tentu bukan tentang hal mistis yang harus dihadapi melainkan bau amis jenazah yang harus mampu didamaikan agar kita tetap dapat terlelap dan tidur dengan kualitas yang mencukupi untuk melanjutkan proses evakuasi ke esokan harinya. Tak hanya itu, rescuer lainnya, bahkan terpaksa tidur bergelantungan di dinding jurang saat malam tiba lantaran tali untuk menuruni jurang tak cukup panjang. Karena sudah telanjur turun namun ternyata tidak cukup panjang talinya hingga akhirnya memilih tidur sambil bergelantungan di dinding jurang karena waktu makin beranjak malam.
Itu adalah kisah yang dialamai sejumlah rescuer, lantas bagaimana halnya dengan keluarga para rescuer? Sambil tertawa Marinus Benedict berkata, “saya beruntung memiliki istri yang luar biasa tangguh. Waktu banjir bandang wasior kami harus tinggal di Wasior berminggu-minggu. Memang itu adalah salah satu prasyarat tak tertulis dari istri-istri rescuer,” terang Pak Marinus. Terbayangkan bagaimana dahsyatnya banjir bandang Wasior beberapa tahun silam. Banjir bandang di Wasior, ibu kota Teluk Wondama, Provinsi Papua Barat akibat hujan lebat yang mengguyur wilayah itu sejak Minggu (3/10) hingga Senin (4/10) pagi di tahun 2010 telah mengakibatkan lebih dari 147 orang, yang hilang 123 orang dan merendam ratusan rumah peduduk daerah itu.
Meski dibantu sejumlah pasukan elit TNI seperti Pasukan Khas (Paskhas) TNI AU Bataliyon 468 Sarotama, Kabupaten Biak Numfor, Papua yang menerjunkan 10 personelnya, namun tetap personel Basarnas harus berjibaku melakukan upaya pencarian dan pertolongan warga yang terjebak banjir lumpur yang mengenangi. Kerap kali berbekal penciuman, personel Basarnas akhirnya berhasil menemukan jenazah diantara tumpukan kayu yang hanyut akibat banjir bandang. “Kami sangat beruntung memiliki keluarga – istri dan anak-anak yang luar biasa pengertian, “ kata Pak Marinus lagi. Dukungan keluarga akhirnya jua yang menjadikan penugasan berminggu-minggu berjibaku dengan lumpur yang berbau demi melakukan pencarian pertolongan dan mengevakuasi jenazah korban banjir bandang Wasior menjadi terasa ringan.
Menempuh perjalanan yang unforgetable dengan sea rider, mendengarkan kisah kehidupan sembari mengalami langsung situasi dan kondisi yang sedikit banyak “mirip” dengan situasi dan kondisi pada saat para rescuer itu saat melakukan upaya pencarian dan pertolongan membuat saya berjanji dalam hati untuk menuliskan kisah ini.
Saat melakukan perjalanan kami pun dihadapkan pilihan-pilihan jalur yang kami tempuhi, pilihan pertama kondisi jalur aman namun waktu tempuh jauh lebih lama sedang pilihan kedua, jalur lebih cepat hanya perairan tidak aman. Jadilah selama ombak menghantam saya berusaha menepis kekhawatiran saya sendiri – maklum saat itu saya dalam kondisi datang bulan – hempasan ombak yang kuat bisa membuat saya terjatuh sewaktu-waktu di perairan yang dikenal sebagai surga hiu itu jelas bukan hal yang menyenangkan. Namun melogikakan pemikiran agar dapat secepat mungkin tiba di target tujuan, maka akhirnya keselamatan diri menjadi hal nomer sekian.
Karena setiap musibah selalu terjadi dalam cuaca buruk dan jika kita menunda untuk melakukan pertolongan maka kesempatan untuk selamat makin kecil,“ terang Pak Marinus sembari menyampaikan ucapan selamat kepada saya. “Tidak semua orang bisa tahan menghadapi cuaca seperti tadi, bahkan untuk seorang rescuer pria sekalipun. Cocok deh jadi anggota Basarnas,” kata Pak Marinus. Ucapan pak Marinus seolah terdengar dan bergema. Jika hanya sesekali menerobos badai di tengah lautan, bisa jadi memang seru.
Tapi menjadikan itu sebagai pilihan hidup dan harus siap untuk dijalani setiap saat rasanya benar-benar membutuhkan keikhlasan luar biasa. Mendadak batin semakin menaruh rasa hormat kepada para anggota Basarnas, relawan dan pasukan TNI dan POLRI lainnya yang dengan ikhlas hati menyelamatkan nyawa dengan mempertaruhkan keselamatan diri. Teriring doa untuk para rescuer di negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H