Mohon tunggu...
handrini
handrini Mohon Tunggu... Lainnya - Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional

world are wide, but there's only small spot to make a mistake, Be wise, get grow, so can mature at the same time. be wise it's not easy eithout make wisely as a habit

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Dilema KJP

21 Maret 2016   08:50 Diperbarui: 21 Maret 2016   08:58 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin sore, saya kembali membeli rok putih panjang dan berbagai perlengkapan seragam sekolah lainnya. Padahal musim tahun ajaran baru belum lagi dimulai. Maklum, anak-anak dalam masa pertumbuhan kerap kali berkembang lebih cepat dan drastis melebihi dari perkiraan kita. Cukup banyak ternyata item dan harga yang harus saya bayar. Uang warna merah terang beberapa lembar saya ulurkan.

"Lhoh kok nggak pakai KJP saja Bu?"

"Nggak punya, Bu"

"Memang anaknya dibawah banget rankingnya apa?" tanya si pemilik toko lagi.

"Anak saya ranking satu terus malah," jawab saya apa adanya.

"Lhoh kok nggak dapat KJP? Sayang lhoh Bu, dapatnya besar 1,2 juta. Diurus saja Bu. Saya saja urus kok," kata si Ibu pemilik Toko.

Sepulang membeli seragam terus menerus angka Rp.1,2 juta itu bergelayut dibenak saya. Mendadak teringat kata-kata cukup pedas dari seseorang bapak yang menyindir karena saya tidak mengurus KJP.

"Jangan sok gengsi deh. Urus saja KJP anak-anak. Saya saja dapat KJP kok," kata si Bapak itu. Si Bapak itu memiliki rumah, mobil munggil dan motor. Sedang saya memang belum bisa membeli motor apalagi mobil. Tapi letak rumah saya cukup strategis dengan pajak Bumi Bangunan (PBB) yang cukup besar. Meskipun demikian rumah itu jauh dari lunas. Karena saya memang tergolong "berani" untuk mengambil rumah. Letaknya pun di kompleks yang cukup nyaman dekat dengan Gelora Bung Karno. Tiap bulan tentu mengangsur sejumlah bilangan yang cukup menyesakkan. Akibatnya, tiap tahun ajaran baru dan tiap harus membeli seragam mau tidak mau saya harus "menyekolahkan" sejumlah perhiasan saya ke pegadaian. Tentunya tanpa sepengetahuan anak-anak. Yang penting mereka tidak lagi kena tegur sekolah karena celana olah raganya robek ataupun roknya tidak muat lagi.

"Sebenarnya KJP itu syaratnya apa ya Pa? kok dulu aku juga diminta persyaratannya sama sekolahan? apa karena ranking satu terus ya?" tanyaku penasaran sama suami.

"Cek dulu deh Ma. Kalau karena prestasi seharusya dibedakan misalnya beasiswa tiap bulan untuk anak berprestasi sebagai penghargaan. Takutnya kalau diterima tawaran KJP-nya ada anak lain yang lebih kurang mampu dari kita tapi tidak berprestasi jadi kasihan. Kan semua anak berhak untuk sekolah, mau pintar atau ga pintar semuanya berhak. Nah kan sekolah itu yang mahal kan beli seragam, bekal dan keperluan lainnya seperti beli bolpen, pinsil dan lainnya yang mahal. Kita saja keteteran kok, " terang suami panjang lebar menenangkan saya yang mulai "terpengaruh" omongan si Ibu dan si Bapak.

Di rumah akhirnya saya pun bertanya pada ketiga anak saya.

"Di sekolahan yang nggak dapat KJP siapa saja, Nak?"

"Kalau di kelasku cuma dua orang, Ma" jawab anak kedua saya yang duduk di bangku kelas 5 SD.

"Di kelasku juga yang nggak dapat juga cuma dua orang Ma," jawab anak ke-3 saya yang duduk di bangku kelas IV SD.

"Dikelasku yang dapat cuma lima orang, Ma," jawab putri sulung saya yang duduk di bangku kelas 3 SMP. Ketiga puteri saya memang sekolah di sekolah negeri.

"Lhah dulu kan aku kelas 1 juga dapat KJP Ma, tapi mama tolak," terang putri ke-2 saya yang memang ranking 1 sejak kelas 1 hingga kelas 5 SD sekarang.

"Hah? masa sih kita dapat. Kan mama kerja? kirain KJP buat anak-anak yang orang tuanya tidak memiliki pekerjaan tetap," jawab saya.

"Kita dapat karena waktu itu kan aku ditanya tinggal dimana, ya aku jawab apa adanya, kontrak di slipi Ma," jawab Putri ke-2 saya.

"Oh.."

"Tapi kebenaran Ma, ditolak jadi dialihkan ke Sarah," kata puteri ke-2 saya.

"Memang kenapa sih Ma?" tanya puteri sulung saya. Saya pun menceritakan apa yang saya alami waktu saya beli seragam.

"Dapatnya berapa sih? tiga ratus atau berapa tiap bulan?" tanya puteri pertama saya.

"Satu juta dua ratus kak tiap bulan," jawab puteri kedua saya.

"Wihhhh enak banget dapat uang satu juta dua ratus tiap bulan, mauuu.." seru puteri ke-3 saya.

"Oh pantas. Temanku yang dapat langsung beli tas dan sepatu converse baru. Sementara aku harus nabung dulu," kata puteri sulung saya.

Spontan saya tertawa. Saya kerap memang tidak meloloskan begitu saja keinginan anak untuk ganti sepatu atau tas. Selain karena tidak ada uang untuk membeli keperluan "insidental" diluar listrik, biaya transport, beras, telur, deterjen, sabun, pasta gigi.Saya juga tidak ingin anak-anak saya tumbuh menjadi sosok yang mengampangkan nilai uang.

"Teman kamu yang dapat, kira-kira ada ngga uang untuk ditabung kalau mau beli sepatu?" tanya saya.

"Iya juga sih.. yang dapat itu lima orang ribet ngurusnya. Rumahnya juga difoto Ma," kata puteri sulung saya.

"Lagian kan malu Ma, kalau sampai kita dapat.." sambungnya lagi.

"Bener kata Kakak, Nak. Kalau dipikir dapat uang 1,2 juta tiap bulannya sih memang besar banget. Tapi kan ada klausul Orang tua tidak memiliki penghasilan yang memadai - meski tidak dijelaskan berapa besaran gaji orang tuanya" saya mendadak ingat si Bapak-bapak yang naik motor dan mobil yang mengkritik saya "sok kaya" dengan tidak mengurus KJP.

Dilema KJP. Meskipun memiliki penghasilan tetap tiap bulannya. Tapi karena mengangsur rumah dan mencukupi kebutuhan tiga anak dalam masa pertumbuhan kerap kali menghadirkan "dilema KJP."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun