Menyaksikan kematian demi kematian bukanlah hal yang mudah meski kita menyadari bahwa setiap jiwa pasti akan merasakan kematian.
Beberapa hari dalam masa remaja saya melihat betapa ketakutan jiwa orang yang begitu saya cintai ketika menjelang ajal menjemput. Beberapa kali orang yang begitu saya cintai dengan berbagai selang di tubuhnya meminta saya untuk mengusir sosok-sosok yang tiada terlihat mata orang kebanyakan. Jiwa orang yang saya cintai itu kemudian tenang kembali setelah Yasin dibacakan.
Begitulah hari demi hari terlewati. Orang yang saya cintai tersebut sangatlah baik.. bahkan terlalu baik.. Banyak hal yang saya ambil dari sikap beliau yang tanpa pamrih.
Pernah beliau menemukan sesosok anak remaja terkapar karena kecelakaan. Lalu tanpa segan beliau mengotong dan memasukkan ke mobil dan mengantarkannya pulang berbekal alamat yang ada di kartu identitas. Begitu sampai di rumah, bogem mentah langsung melayang. Sosok tinggi besar itu hanya diam tiada melawan meski saya berulang kali protes. "Wajar.. melihat anak perempuannya terluka seperti itu.. seorang ayah dimana pun pasti akan murka.. tidak sekedar marah.. jika Papi melihat orang yang Papi sangka melukaimu pun.. rasanya Papi akan melakukan hal yang sama.." kurang lebih seperti itu kalimat yang beliau sampaikan. Itu adalah salah satu gambaran tentang karakter beliau yang saya cintai.. tapi sekali lagi..
BAIK SAJA TERNYATA TIDAK CUKUP UNTUK MENGHADAPI SAKARATUL MAUT....
Pelajaran itulah yang saya dapatkan dari hari demi hari menjaga dan menunggui beliau. Setiap melihat buku rapor kelas 3 SMA milik saya.. selalu ingatan akan hari demi hari itu berputar kembali karena dalam buku rapor jelas tertera 7 (tujuh) hari ALPA. Ketika orang yang kita cintai sakit, adakah hal lain yang lebih penting selain menjaga dan merawatnya? Pun ketika suami saya (ayah dari ke-3) putri saya sakit, saya pun tidak peduli teguran yang dilayangkan kepada saya karena mangkir dari salah satu tugas. Saya akui saya salah, sebab profesionalitas dalam sebuah profesi seharusnya tidak mentolelir dalih apapun juga.
Itulah salah satu ilmu hidup yang Papi ajarkan. Bahkan saat beliau sudah terbaring lemah.. tanggungjawab saya-lah yang justru beliau pertanyakan.. “Bagaimana majalah sekolahmu? Bukannya seharusnya sudah naik cetak? Kalau kamu nunggui Papi terus.. bisa-bisa penerbitan majalah sekolahmu terbengkalai.. tanggungjawab itu harus tetap kamu laksanakan, jangan sampai karena masalah pribadi jadi terbengkalai.. Sudah pergi sana.. ke percetakan dulu.. toh ada suster dan dokter yang menjaga..” begitu kata beliau saat tersadar.
Tapi ketika saya kembali dari percetakan saya melihat sosok dengan berberapa selang dan alat bantu pernafasan itu tengah mengalami kepanikan. “Ada apa Sus?” tanya saya cemas. “Nggak tahu.. sepertinya ayahnya mbak berhalusinasi..” kata Suster. “Oh.. ya sudah Sus.. biar saya saja yang jaga ya.. terima kasih Sus..” kata saya singkat.
Dari yang saya pahami, beliau tidak sedang berhalusinasi.. beliau sedang mengalami sakaratul maut. Sakaratul maut adalah saat terakhir iblis memiliki kesempatan untuk menyesatkan manusia dari keimanannya.
Saat itu saya sangat menyesal karena meninggalkan sosok yang seharusnya saya jaga. Bagaimana jika karena ketakutannya pada iblis-iblis yang merubah sosok mereka menjadi sosok yang sangat menyeramkan menyebabkan keterkejutan dan ketakutan beliau hingga saat itulah ajal menjemput beliau?
Please.. jangan pernah meninggalkan orang yang anda cintai saat sedang menghadapi sakaratul maut seorang diri.. sebab saat sakaratul maut menghapiri, itu merupakan kesempatan terakhir iblis untuk menyesatkan jiwa dan karena saat terakhir pastilah iblis akan mengerahkan segala daya mereka untuk menyesatkan kita. Perasaan itulah yang menghinggapi saya saat itu. Bacaan Yasin akhirnya memulihkan ketenangan beliau.