Seorang ibu tetaplah seorang ibu. Seorang ibu cenderung memiliki kemampuan memahami sifat dan karakteristik seorang anak yang tiada akan pernah sama dengan anaknya. Diperlukan keterlibatan total untuk dapat mengembangkan modal dan membentuk perkembangan jiwa ke arah yang lebih baik.
Seorang Ibu memang tidak mampu mengantikan peran seorang ayah, namun dengan berbekal rasa keibuannya, maka ia dapat mengupayakan agar buah hatinya memiliki figur penganti seorang ayah yang diperlukan dalam kehidupan putra/putrinya. Entah itu paman, kakek atau mungkin juga gurunya.
Adalah Abū ʿAbdullāh Muhammad bin Idrīs al-Shafiʿī atau Muhammad bin Idris asy-Syafi`i yang digelar dengan Abu Abdillah yang kemudian dikenal dengan sebutan Imam Syafii. Ayahnya telah meninggal dunia pada saat Imam Syafii berusia dua tahun. Peran ayah bagi seorang Imam Syafii hadir dan terwakili oleh keberadaan dan pendidikan guru-gurunya. Guru-guru fiqih Imam Syafii sebutlah diantaranya: Muslim bin Khalid Az Zanji, Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, Sufyan bin Uyainah, Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya.
Semoga tulisan yang jauh dari kesempurnaan ini mampu mengugah kesadaran kita semua tentang arti penting memenuhi kebutuhan psikologis anak yaitu menghadirkan figur ibu dan figur ayah dalam kehidupan mereka secara berimbang. Kasih sayang ibu dan ayah memang tidak pernah mampu tergantikan. Namun arti penting keberadaan figur ibu dan ayah tetap menjadi kebutuhan bagi anak yang harus diupayakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H