Air Traffic Controllers (ATC) adalah salah satu pihak penentu keselamatan penerbangan tentu tak ada yang menyangsikan. ATC adalah "pemegang kuasa udara" - bagaimana tidak ? tak ada seorang pun pilot yang (:seharusnya) berani mengabaikan perintah ATC baik itu untuk take off maupun landing. Miskomunikasi antara ATC dan pilot merupakan salah satu penyebab terjadinya bencana penerbangan. Tapi bagaimana status pegawai, sistem penggajian (remunerasi), proses transfer Indonesia Air Traffic Controllers mungkin tak banyak orang mengetahuinya.
Sejumlah kajian antara lain yang dilakukan oleh Robert Baron yang berjudul Barriers to Effective Communication: Implications for The Cockpit mengungkap implikasi negatif adanya kendala dan hambatan komunikasi hingga menyebabkan terjadinya kecelakaan pada berbagai kasus antara lain kecelakaan penerbangan yang sangat legendaris yang terjadi di Bandar Udara Internasional Los Rodeos di Tenerife, Kepulauan Canary Spanyol pada 27 Maret 1977 pukul 17.06 waktu setempat. Akibat miskomunikasi antara Air Traffic Controller (ATC) dengan pilot, dua pesawat Boeing 747 yaitu Pan Am nomor penerbangan 1736 bertabrakan dengan KLM nomor penerbangan 4805 hingga mengakibatkan 583 orang tewas.
Di Indonesia kasus miskomunikasi antara ATC dengan pilot yang berujung kecelakaan juga terjadi pada pesawat jenis Airbus A-300 B4-200 milik Garuda Indonesia PK-GIA penerbangan GA 152 yang jatuh 26 September 1997 sekitar pukul 13.30 di desa Buah Nabar, Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara yang mengakibatkan 234 tewas. Demikian juga kecelakaan yang terjadi pada pesawat Sukhoi Superjet 100 yang sedang melakukan joyflight hilang kontak pada tanggal 9 Mei 2012. Berdasarkan keterangan Komite Nasional Kecelakaan Transportasi (KNKT), pesawat tersebut mengalami Controlled Flight Into Terrain (CFIT) pada ketinggian 5.800 feet pada kemiringan 85 derajat. CFIT adalah sebuah istilah dalam dunia penerbangan yang berarti sebuah pesawat yang laik terbang dan tidak mengalami kerusakan serta di bawah kendali pilotnya, tanpa sengaja terbang dan menabrak terrain atau daratan, obstacle atau penghalang, atau air. Penerbangnya biasanya tidak sadar sampai akhirnya terlambat untuk menghindar. Hal tersebut terjadi karena miskomunikasi antara ATC dengan pilot.
Sejumlah pemikiran tentang ATC sudah digagas sejak lama diantaranya sebagaimana diusulkan Ketua Komisi V DPR RI Yasti Soepredjo Mokoagow yang mengusulkan adanya pemisahan antara ATC dengan pengelola bandara dengan alasan ATC berpikir selalu tentang keamanan jalur penerbangan sedangkan pengelola bandara hanya berorientasi pada keuntungan semata.
Pemisahan antara ATC dengan pengelola bandara sebenarnya telah diamanatkan UU No.1 tahun 2009 tentang Penerbangan. Amanat tersebut diatur secara rinci dalam beberapa pasal yaitu sebagai berikut : Pada Paragraf 2 tentang Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Pasal 271 ayat (1) Pemerintah bertanggung jawab menyelenggarakan pelayanan navigasi penerbangan terhadap pesawat udara yang beroperasi di ruang udara yang dilayani. Ayat (2) Untuk menyelenggarakan pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah membentuk satu lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan. Ayat (3) Lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memenuhi kriteria sebagai berikut: mengutamakan keselamatan penerbangan; tidak berorientasi kepada keuntungan; secara finansial dapat mandiri; biaya yang ditarik dari pengguna dikembalikan untuk
biaya investasi dan peningkatan operasional (cost recovery). Ayat (4) Lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada Menteri. Pada Pasal 272 ayat (1) ditegaskan bahwa Lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 271 ayat (2) wajib memberikan pelayanan navigasi penerbangan pesawat udara.
Tugas ATC atau yang dalam UU Penerbangan disebut sebagai pelayanan lalu lintas penerbangan adalah sebagai berikut : mencegah terjadinya tabrakan antarpesawat udara di udara; mencegah terjadinya tabrakan antarpesawat udara atau pesawat udara dengan halangan (obstacle) di daerah manuver (manouvering area); memperlancar dan menjaga keteraturan arus lalu lintas penerbangan; memberikan petunjuk dan informasi yang berguna untuk keselamatan dan efisiensi penerbangan; dan memberikan notifikasi kepada organisasi terkait untuk bantuan pencarian dan pertolongan (search and rescue).
Bagi masyarakat awam yang ingin mengetahui bagaimana ATC bekerja dan peran pentingnya ATC dapat melihat "sinetron" korea Take Care Of Us, Captain. Di melodrama tersebut digambarkan dengan tepat tentang mekanisme bekerja ATC yang melakukan pengaturan lalu lintas udara di menara untuk aerodrome control tower agar dapat melihat dengan jelas keadaan landas pacu sedang untuk approach control unit dan area control center berada di ruangan yang letaknya berdekatan dengan menara untuk memudahkan koordinasi.
Bagaimana proses bekerja ATC ? Dalam setiap penerbangan, setelah pesawat tuntas menghidupkan mesin dan pada posisi siap untuk berjalan, maka pilot akan minta ijin untuk taxi. Dipandulah pesawat tersebut menuju titik dimana akan memulai take-off. Dalam bahasa penerbangan disebut dengan holding position. Kemudian pilot meminta ATC Clearance sebelum menghidupkan mesin dan bersiap meninggalkan lokasi parkir. Setelah lengkap menjawab ATC Clearance 10 menit kemudian penerbang akan meminta untuk menghidupkan mesin pesawat dan mundur dari lokasi parkir. Perlu diketahui masing-masing terminal keberangkatan mempunyai unit sendiri. Untuk terminal A-B-C penerbang akan berkomunikasi dengan GS, sedangkan terminal D-E-F dengan GN. Dipertengahan jalan pada posisi yang sudah clear dengan pesawat yang lain penerbang akan diberi istruksi untuk berkomunikasi dengan unit TWR, karena tanggung jawab TWR yang akan memberangkatkan pesawat tsb. Proses untuk keberangkatan ini akan tergantung dengan pesawat lain yang akan mendarat ataupun pesawat yang berada di depannya. Sehingga perhitungan dan pengalaman seorang ATC untuk memberangkatkan pesawat sangat berperan. Sesaat pesawat memulai mengudara, penerbang akan diminta berkomunikasi dengan unit TE, setelah lepas ketinggian tertentu penerbang diminta berkomunikasi dengan unit LE, demikian seterusnya hingga ke unit US. Setiap sektor pemanduan LLU, ATC yang bertugas mempunyai tanggung jawab memisahkan antar pesawat dengan separasi yang sesuai. Unit US akan selalu berkoordinasi dengan Unit Makassar ACC akan keberadaan pesawat yang dimaksud, sehingga pada suatu titik pesawat tsb akan dilimpahkan status tanggung jawabnya ke wilayah udara Makassar. Makassar ACC akan memandu pesawat tersebut hingga memasuki wilayah udara Surabaya TMA, dan seterusnya pada akhirnya penerbang akan berkomunikasi dengan Juanda TWR untuk melaksanakan pendaratan. Dan melaju ke tempat parkir pesawat di apron.
Lalu bagaimana status pegawai, sistem penggajian (remunerasi), proses transfer ATC? Mari kita lihat dari pengaturan Air Traffic Service dalam Annex 11 terlebih dahulu. Pada Annex 11 (Air Traffic Service), bahwasannya tujuan diselenggarakannya ATS dapat tercapai dengan efektif apabila dibentuk organisasi yang akan menyelenggarakan pelayanan dan metode untuk mencapai tujuan tersebut.  Namun ICAO tidak mengatur secara spesifik bentuk maupun struktur organisasi penyelenggara ATS tersebut.  Biasanya suatu negara membagi seluruh administrasi penyelenggaraan ATS tersebut menjadi regulator, engineering planning dan divisi penyelenggaraan pelayanan ATS. Dimana divisi penyelenggaraan pelayanan ATS yang berperan penting dalam penyelenggaraan operasi ATS sehari-hari.
Secara garis besar organisasi penyelenggara ATS (kalau di Indonesia seperti Angkasapura 1, Angkasapura2 pada awalnya sebelum terbentuk Perusahaan Umum (Perum) Lembaga Penyelenggaraan Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia ATC menjadi bagian dari ATS) memiliki pembagian kerja sebagai berikut: Operasional termasuk air traffic control, flight service, ATSRO, briefing office, SAR, dsb ; Peralatan dan teknologi; termasuk sistem, maintenance dan upgrade; Keuangan termasuk penggajian, pembelanjaan, perpajakan, dsb; Personalia termasuk administrasi, karir, rekrutmen, training dsb; Riset dan Pengembangan (R&D); Safety Management System; Audit dan assurance; Komersial dan pengembangan bisnis; termasuk SBU selain core bisnis, penagihan dsb ; Korporat affairs.
Bentuk baru organisasi Perum Lembaga Penyelenggaraan Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia sempat menjadi perdebatan antara Perum atau Badan Layanan Umum (BLU). Sejumlah praktisi menyebutkan ada kekurangan dan kelebihan masing-masing dari bentuk lembaga tersebut salah satunya jika bentuk BLU maka diharapkan personil ATC bisa memiliki jenjang karir hingga Dirjen. BLU menyelenggarakan kegiatannya tanpa mengutamakan pencarian keuntungan. Jika BLU mendapatkan keuntungan dapat dimanfaatkan untuk peningkatan kinerja lembaganya dan jika BLU mengalami kekurangan bisa mendapat tambahan dan dari APBN. Sedang Perum kelebihannya adalah seluruh keuntungan menjadi keuntungan negara, menyediakan jasa bagi masyarakat serta merupakan saran untuk melaksanakan pembangunan. Sementara kekurangannya pengelolaan perum sangat ditentukan oleh kemampuan keuangan negara serta biasanya memiliki hambatan birokratis dalam hal pengembangannya.
Soal beban tugas ATC ? jangan ditanya.. Tak hanya butuh kecermatan namun juga kesigapan dalam menghadapi peristiwa darurat seperti kejadian pada 18 Maret 2004 Pukul 12.55, disaat komputer pengatur radar otomatis Air Traffic Controller (ATC) Bandara Soekarno Hatta, Jakarta mendadak hang dan sistem cadangan tak bisa otomatis mengambil alih tugas sistem utama. Petugas ATC pun terpaksa memakai metode primitif, memandu pesawat-pesawat itu secara manual. Mereka mengontak satu per satu pesawat, menanyakan posisi dan nomor penerbangan. semua petugas tegang. Bulir-bulir keringat seukuran biji jagung mengucur deras di wajah mereka. Wajar mereka tegang. Boleh dibilang, nasib kru dan penumpang pesawat ketika ada di angkasa ada di tangan mereka. Kesalahan komunikasi petugas ATC dengan pilot bisa berakibat fatal. Tak sedikit kecelakaan kapal terbang akibat kesalahan komunikasi. Di sisi lain, pengoperasian Air Traffic Control Tower memang membutuhkan kucuran dana yang sangat besar. Peremajaan perangkat di ATC tower memang membutuhkan dana yang membebani negara. Jangankan di Indonesia, Di Amerika, 9 April 2013 lalu senat tengah mendorong disetujuinya rancangan undang-undang yang melarang penutupan ATC tower dengan alasan apapun. Pada rancangan undang-undang itu disebutkan penangguhan atau penghentikan pengoperasian beroperasinya menara kontrol lalu lintas udara yang dilakukan setelah tanggal 1 Maret 2013 harus dihentikan. Jika menara kontrol lalu lintas udara sudah ditangguhkan atau dihentikan pengoperasian menara kontrol lalu lintas udara setelah 1 Maret 2013, maka sebelum tanggal berlakunya UU tersebut harus dioperasikan kembali sesegera mungkin. Hal tersebut menunjukkan betapa tidak murahnya pengoperasian satu menara kontrol lalu lintas udara.
Lantas bagaimana dengan tingkatan petugas ATC ? Mulya Abdi, bekas petugas ATC yang kini menjabat Deputy Senior General Manager PT Angkasa Pura (AP) II Bandara Soekarno Hatta, mengatakan, ada empat tingkatan petugas ATC. Pertama, junior air traffic control, yakni pengawas pada unit aerodrome control service atau tower control. Tugas mereka antara lain memandu pesawat yang bergerak di kawasan bandara, serta pergerakan pesawat saat di ruang udara bandara dengan ketinggian maksimal 2.500 kaki.
Kedua, senior air traffic control, yaitu pengawas di unit approach control service. Tugas mereka melayani lalu lintas penerbangan, dari tinggal landas menuju jalur penerbangan en-route yang direncanakan, atau dari tahapan en-route menuju pendaratan di bandara.
Pesawat yang masuk dalam layanan approach control berada pada ketinggian di atas 2.500 kaki hingga 24.500 kaki dimana petugas ATC berada di dalam suatu ruangan dengan memakai peralatan yang ada tanpa melihat landasan. Ketiga, radar controller, yakni pengawas di unit area control service bagian sistem radar. Mereka bertugas mengawasi pesawat yang berada di ketinggian lebih dari 24.500 kaki. Keempat, supervisor ATC. Pekerjaannya bersifat manajerial lantaran memimpin kegiatan pemanduan lalu lintas penerbangan di dalam ATC.
Setiap tingkatan petugas ATC punya lisensi dan peringkat (rating). Tapi, setiap enam bulan sekali, ATC checker akan menilai performa mereka. Penilaian ini menggunakan sistem gugur. Sehingga, seorang senior air traffic controller bisa turun pangkat jadi junior air traffic control atau dari radar controller jadi senior air traffic controller.
Untuk menjadi petugas ATC, seseorang mesti mengikuti pendidikan khusus di lembaga yang ada di bawah naungan Kementerian Perhubungan. Misalnya, di Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI), Curug, Tangerang. Lembaga pendidikan serupa saat ini juga berdiri di Medan dan Surabaya. Bagi mereka yang berminat menjadi petugas ATC dapat mengambil Jurusan Pengatur Lalu Lintas Udara. Calon petugas ATC akan menempuh pendidikan selama setahun. Selama masa pendidikan setahun itu bisa saja gugur karena dinilai kemampuannya memang tidak ada.
Bagi yang lulus, siswa akan menjalani on the job training selama enam bulan di bandara yang lalu lintas penerbangannya tidak terlalu ramai. Jika lulus dari pelatihan ini, mereka resmi menyandang status junior air traffic controller. Setelah melewati masa tugas dua tahun sebagai junior air traffic controller, petugas ATC akan melakoni pendidikan selama setahun di STPI untuk mengambil posisi senior air traffic controller. Setelah lulus, mereka harus menjalani job training selama enam
bulan dulu, baru bisa menjadi senior air traffic controller. Bagi yang sudah menggeluti senior air traffic controller dua tahun, mereka bisa mengikuti pendidikan radar controller selama setahun. Lokasi pendidikan bisa di Indonesia, Singapura, Thailand, atau Prancis. Sebagai radar controller, petugas ATC bisa mengambil ATC Automation, yaitu pendidikan khusus untuk memandu pesawat yang terbang mengandalkan instrument flight rules atau sistem komputer.
Sayangnya beban berat para petugas ATC tidak sebanding dengan penghasilannya. Masih banyak petugas ATC mendapat gaji di bawah upah minimum regional (UMR). Data dari organisasi Profesi ATC (IATCA) menyebutkan, gaji terendah ATC Indonesia Rp 1,6 juta dan tertinggi Rp 8 juta. Ini artinya hanya sebesar 5 persen - 25 persen dari gaji ATC Thailand yang tingkat ekonominya relatif sama, tetapi beban kerja dan resiko yang jauh di bawah ATC Indonesia. Meski impian yang diamanatkan dalam UU Penerbangan tentang terbangunnya satu sistem terpadu Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (PPNI) akhirnya terwujud pada Januari 2013 lalu dengan terbentuknya Perusahaan Umum (Perum) Lembaga Penyelenggaraan Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No.77 Tahun 2012 tentang erusahaan Umum (Perum) Lembaga Penyelenggaraan Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia , tapi tampaknya profesionalitas ATC harus terus didorong demi terwujudnya profesionalitas ATC dan lebih menjamin keselamatan penerbangan di Indonesia.
Bahan :
1. Accent Modification: Accents as Safety Issues Part , http://www.jandarpan.com/article-detail /accent-modification-accents-as-safety-issues-part-i.htmdiakses 15 April 2013.
2. Antara Tragedi Sukhoi di Gunung Salak & Garuda 152 di Sibolangit, http://news.detik.com/read/2012/05/11/164716/1915226/10/antara-tragedi-sukhoi-di-gunung-salak-garuda-152-di-sibolangit?9911012 diakses 15 April 2013.
3. Authorities Blame Pilots, Indonesian ATC for Superjet Crash, ww.ainonline.com/aviation-news/2012-12-18/authorities-blame-pilots-indonesian-atc-superjet-crash, diakses 26 April 2013.
4. Komisi V: Pengatur Bandara Soetta & ATC Harus Dipisah, http://www.aktual.co/sosial/161014komisi-v-pengatur-bandara-soetta-atc-harus-dipisah diakses 29 Mei 2013.
5. Air Traffic Control (ATC), http://bandarudara.com/atc.html diakses 29 Mei 2013.
6. Annual Report Angkasapura 2 Tahun 2011 yang diunduh dari http://www.angkasapura2.co.id/?app=ABOUT_US pada 29 Mei 2013.
7. Struktur Organisasi untuk PPNPI (Bagian 2), http://acilscolumn.com/2013/01/21/struktur-organisasi-untuk-ppnpi-bagian-2/ diakses pada 29 Mei 2013.
8. Memandu Burung Besi Bermanuver di Udara, Tabloid Kontan 20 juni 2012.
9. Nggak Pernah Ada Tips Buat ATC, http://surabaya.tribunnews.com/2013/02/14/nggak-pernah-ada-tips-buat-atc diakses 29 Mei 2013.
10. Bill S 687, http://www.gpo.gov/fdsys/pkg/BILLS-113s687is/pdf/BILLS-113s687is.pdf diakses pada 29 Mei 2013.
11. Peraturan Pemerintah No.77 Tahun 2012 tentang erusahaan Umum (Perum) Lembaga Penyelenggaraan Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H