Mohon tunggu...
Handra Deddy Hasan
Handra Deddy Hasan Mohon Tunggu... Pengacara - Fiat justitia ruat caelum

Advokat dan Dosen Universitas Trisakti

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Jebakan dan Jeratan Kriminil dari Media Sosial

13 Juni 2024   21:53 Diperbarui: 21 Juni 2024   07:03 750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak bergulirnya revolusi informasi dan teknologi dalam kehidupan umat manusia, telah terjadi perubahan-perubahan yang signifikan cara umat manusia dalam berkomunikasi dan bersikap.

Sementara tidak ada satupun Lembaga resmi, kursus ataupun yang sejenis mempunyai program untuk publik agar supaya masyarakat cerdas menghadapi dan berurusan dengan media sosial (medsos)

Masyarakat berinteraksi dengan medsos dengan cara coba-coba, trial and error berdasarkan pengalaman unik mereka masing-masing.

Dengan tanpa ada pembekalan masyarakat masuk ke dunia media sosial,  maka terjadilah kerusakan sosial, pelanggaran hukum dimana-mana.

Kerusakan sosial dan pelanggaran hukum dimana masyarakat sebagai subyek meliputi baik sebagai pelaku maupun sebagai korban.

Padahal sebagai netizen, perlu untuk memiliki sikap dan tindakan yang bijak dalam menghadapi berkomunikasi melalui medsos.

Pada waktu kontestasi Pemilihan Presiden Indonesia yang lalu sebagian masyarakat yang bermasalah dengan dirinya, melampiaskan rasa marahnya dengan memaki-maki pihak lawannya, bahkan kalau perlu menyebarkan berita bohong (hoaks).

Kegiatan demikian akan terulang lagi pada waktu suhu politik mulai memanas ketika dilakukannya Pemilihan Kepala Daerah serentak pada bulan November 2024.

Perbuatan demikian berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 1 tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) karena disebarkan dan ditransmisikan melalui media sosial.

Saat ini sedang heboh dan viral di media sosial tentang seorang ibu melakukan perbuatan tidak senonoh dengan anaknya sendiri yang berumur 11 tahun. 

Pada awal kejadian di media sosial Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) langsung bereaksi cepat yang kemudian diikuti oleh tindakan pro justitia dari pihak Kepolisian. Banyak kemudian masyarakat yang menghujat bahwa tindakan seperti yang dilakukan AK (26) sangat tidak pantas dilakukan oleh seorang ibu.

Namun kemudian setelah dilakukan penyidikan oleh pihak Kepolisian, ternyata AK juga merupakan korban dari sindikat pornografi anak.

Selain AK, warga Tambelang Bekasi, Polisi juga menetapkan dalam kasus lain R (22), warga Tanggerang Selatan, Banten sebagai tersangka pembuatan video porno bersama anak kandungnya yang balita, MR (4).

AK dan R diduga jadi korban dari akun Facebook IS yang belakangan diketahui akun tersebut diretas oleh seseorang dengan initial M. M saat ini sedang diburu Polisi. Mereka, AK dan R menjadi korban M dengan modus diimingi-imingi uang belasan juta agar mau membuat video tidak senonoh tersebut (Kompas, Rabu 12/6/2024).

Mengamati kasus ini, ada kemungkinan banyak korban-korban lain yang mirip dengan AK dan R yang menjadi pelaku Kriminil pembuat video porno, tapi sebetulnya merupakan korban sindikat Pornografi.

Melihat sengkarut kasus video pornografi yang sedang diusut oleh pihak Kepolisian, bisa disimpulkan bahwa literasi masyarakat tentang bersikap dan berinteraksi dengan media sosial sangat minim.

Ditambah lagi dengan kondisi sosial, seperti kemiskinan, penghasilan keluarga yang tidak memadai menjadi pelengkap sehingga pelaku  terperangkap oleh iming-iming penjahat.

Sebagai catatan kedua mahmud (mamah muda) yang terlibat dalam pidana UU ITE ini, berasal dari keluarga tidak mampu dan tidak bekerja serta semata-mata secara ekonomi bergantung sepenuhnya kepada kepada suami. Suami AK mencari nafkah sebagai buruh bangunan, sedangkan suami R hanya sebagai pengamen jalanan (Kompas, Rabu 12/6/2024).

Perlu pencerahan bagi masyarakat. Jangan terlalu lugu memandang media sosial dan beranggapan bahwa semua pertemanan yang ada didasari oleh niat persahabatan yang tulus.

Jangan mudah tergoda oleh iming-iming uang atau hadiah yang terlalu bagus untuk menjadi kenyataan (too good to be true). Selalu pertimbangkan konsekuensi jangka panjang dari tindakan yang diminta.

Dalam kenyataannya baik AK, maupun R, walaupun telah melakukan apa yang diperintahkan yaitu membuat video amoral dengan anak kandungnya sendiri, tetap saja tidak memperoleh uang yang dijanjikan.

Harusnya dalam menghadapi media sosial, tetap teguh pada nilai dan prinsip pribadi yang dimiliki. Jangan begitu gampang menyerah pada iming-iming dan melakukan bertentangan dengan nilai-nilai moral dan etika yang dipunyai.

Sudah seharusnya bagi masyarakat yang telah berani terjun masuk ke media sosial untuk memperkaya pengetahuan pribadi. Salah satu caranya dengan mempelajari tentang berbagai jenis penipuan dan kejahatan online yang mungkin akan dihadapi.

Semakin memahami risiko dan taktik para penipu, semakin mudah bagi masyarakat untuk mengidentifikasi dan menghindari trick-trick penipu.

Kemudian apabila menghadapi situasi berbahaya seperti mendapat ancaman atau godaan yang tidak wajar, jangan panik.

Tetap tenang dan pertimbangkan dengan hati-hati langkah-langkah yang akan diambil selanjutnya.

Cara lain yang disarankan adalah jangan mengurung diri, mengisolir dan menutup diri dari orang sekitar. Sehingga jika menghadapi situasi yang meresahkan, jangan ragu untuk berbagi informasi dengan orang terpercaya, teman, atau keluarga. Mereka mungkin bisa memberikan dukungan dan saran berupa solusi yang diperlukan.

Sebaiknya, tindakan yang paling tepat jika dibujuk, diancam atau disalahgunakan secara online, segera laporkan kejadian tersebut kepada pihak berwenang seperti kepolisian, penegak hukum setempat.

Tindakan preventif berupa mengamankan akun dan informasi pribadi, merupakan tindakan yang paling praktis untuk menghindari bahaya medsos. 

Cara untuk meningkatkan keamanan akun media sosial dan email dengan kata sandi yang tidak mudah ditebak (seperti tanggal lahir). Jangan pernah memberikan informasi pribadi atau data sensitif kepada pihak yang tidak dikenal.

Apakah AK dan R Bisa Lepas Dari Jerat UU ITE ?

Sumber gambar Photo dan ilustrasi Indonesiabaik.id
Sumber gambar Photo dan ilustrasi Indonesiabaik.id

Saat ini AK dan R akan disangkakan dengan Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 45 ayat (1) UU ITE.

Perbuatan tersangka AK dan R dianggap sebagai tindakan yang mendistribusikan dan mentransmisikan dokumen elektronik yang mengandung pelanggaran kesusilaan.

Pasal 27 ayat 1 UU ITE

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak memdistribusikan dan mentransmisikan dan/atau membuat diaksesnya Informasi dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

Perbuatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 27 ayat 1 diancam sebagaimana disebutkan dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE.

Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak memdistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Dalam kedua Pasal yang disebutkan diatas, unsur dari perbuatan pidana pelaku harus melakukan perbuatannya dengan sengaja.

Berdasarkan kronologis dari pihak Kepolisian terhadap peristiwa pidana AK dan R, selain jadi pelaku yang melakukan pidana, dibalik itu ada unsur terbujuk rayu dengan iming-iming uang sehingga ada yang beranggapan para pelaku merupakan korban.

Sehingga apakah dapat dikatakan unsur dengan sengaja dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 45 ayat (1) UU ITE tidak terpenuhi?

Apakah dapat dikatakan bahwa pelaku disimpulkan melakukan perbuatan tidak dengan sengaja karena adanya bujuk rayu dan iming-iming uang?

Selain itu ada kalanya perbuatan pidana bisa dinafikan (dianggap bukan perbuatan pidana) karena ada unsur pengaruh daya paksa sebagaimana diatur dalam Pasal 48 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Berdasarkan yurisprudensi yang telah berlaku daya paksa yang dimaksud juga termasuk daya paksa berupa tekanan psikis.

Makna daya paksa sebagaimana diuraikan dalam yurisprudensi bahwa yang dimaksud dengan daya paksa disyaratkan bahwa perbuatan dilakukan dibawah pengaruh tekanan akan kekuatan, terhadap mana terdakwa tidak dapat mengadakan perlawanan.

Dalam situasi AK dan R dimana faktanya merupakan pelaku dan sekaligus menjadi korban, ada alternatif lepas dari hukuman sebagai pelaku sebagaimana dijelaskan di atas.

Penasehat hukum dari AK dan R harus memanfaatkan pembelaan maksimal nantinya di Pengadilan dan fokus untuk membuktikan dan meyakinkan Hakim bahwa kliennya dalam hal ini hanya korban.

Caranya, dengan menyampaikan fakta dan teori bahwa perbuatan yang dilakukan para Terdakwa dilakukan tidak dengan kesadaran penuh (ada bujuk rayu berupa iming-iming) sehingga dapat dikatagorikan sebagai perbuatan yang tidak dengan sengaja.

Atau juga menguatkan pembelaan menggunakan tameng Pasal 48 KUHP yang membuktikan perbuatan terdakwa dalam pengaruh daya paksa psikis.

Semoga AK dan R dapat memperoleh keadilan yang substantif kalau memang mereka hanya korban dari sindikat pornografi.

Oleh Handra Deddy Hasan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun