Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan), Lembaga Kejaksaan merupakan otoritas yang sah mewakili negara di bidang penyelidikan, penyidikan (kasus korupsi) dan penuntutan serta harus dilakukan secara merdeka (independen).
Setiap upaya intervensi yang dilakukan kepada Kejagung dalam penanganan Korupsi akan mengakibatkan terganggunya independensi penegakan hukum.
Independensi lembaga penegak hukum, termasuk Kejagung, adalah prinsip fundamental dalam sistem hukum yang demokratis. Intervensi terhadap kasus korupsi dapat merusak independensi jaksa dan menunjukkan bahwa hukum tidak ditegakkan secara adil dan transparan.
Apapun bentuk upaya Intervensi dalam kasus korupsi dapat mengancam prinsip keadilan.
Selayaknya semua pihak harus tunduk pada hukum tanpa terkecuali, termasuk pejabat pemerintah atau individu yang memiliki kekuasaan dan pengaruh.
Sebagaimana diuraikan di atas, perkara-perkara korupsi jumbo yang sedang Kejagung ditangani Kejagung, ditenggarai mengusik orang-orang kuat yang sedang berkuasa.
Sebagai kita ketahui pemberantasan korupsi memerlukan penegakan hukum yang tegas dan tanpa intervensi.
Jika kasus korupsi besar diintervensi, hal ini dapat melemahkan upaya pemberantasan korupsi secara keseluruhan dan menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap integritas lembaga penegak hukum.
Masyarakat sipil di Indonesia menduga lemah lunglainya KPKÂ dalam pemberantasan korupsi bukan semata-mata masalah internal. Akan tetapi diduga bahwa melemahnya KPK karena upaya intervensi yang sistematis, termasuk dengan cara merubah Undang-undang tentang KPK.
Tidak perlu dipungkiri lagi, intervensi terhadap kasus korupsi merupakan tindakan yang melanggar hukum dan ketertiban dan sangat biasa terjadi.
Kalau kita masih mengakui Indonesia sebagai Negara hukum, maka semua pihak harus menunjukkan komitmen untuk menegakkan hukum dengan adil dengan cara membiarkan Kejagung bebas dan independen.