Mohon tunggu...
Handra Deddy Hasan
Handra Deddy Hasan Mohon Tunggu... Pengacara - Fiat justitia ruat caelum

Advokat dan Dosen Universitas Trisakti

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

KUA untuk Semua Agama

28 Februari 2024   16:35 Diperbarui: 28 Februari 2024   18:51 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 sumber gambar photo dan ilustrasi Kompas.com

KUA Untuk Semua Agama

Oleh Handra Deddy Hasan

Akhir-akhir ini Kementerian Agama mewacanakan akan menggunakan Kantor Urusan Agama (KUA) untuk bisa mencatat pernikahan semua agama, bukan hanya sekedar bagi umat Islam saja sebagaimana terjadi selama ini.

Hal tersebut muncul berdasarkan pernyataan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang akan menjadikan KUA sebagai sentra pelayanan keagamaan bagi semua agama.

Ide untuk menjadikan KUA sebagai tempat pernikahan semua agama ternyata mendapatkan dukungan banyak pihak di Indonesia.

Adapun dengan menjadikan KUA melayani masalah administrasi perkawinan diharapkan memberikan kemudahan bagi seluruh umat beragama, tanpa kecuali.

Alhasil namanya sebagai Kantor Urusan Agama (tanpa tambahan embel-embel Islam) menjadi cocok dan pas, karena tidak hanya melayani umat agama Islam semata, sebagaimana berlaku selama ini.

Dengan demikian, KUA diharapkan dapat memberikan pelayanan keagamaan seperti pencatatan pernikahan kepada umat agama non-Islam juga.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy juga mendukung gagasan tersebut dengan mengatakan bahwa seluruh umat beragama yang ada di Indonesia dapat melangsungkan pernikahan di KUA sebagaimana aturan yang ada dalam agama masing-masing.

Usulan ini bertujuan untuk memudahkan semua umat beragama dalam proses pernikahan dan memberikan pelayanan keagamaan yang sama di satu kantor. Ide ini sedang dalam tahap pengkajian untuk menindaklanjuti implementasinya.

Selain itu, dengan adanya KUA satu atap bagi semua agama, juga diharapkan dapat mengintegrasikan data-data pernikahan dan perceraian dengan baik serta melibatkan seluruh stakeholder dalam pengkajiannya.

Awal ide mengkotak-kotakan masyarakat berdasarkan agama, etnis asal usul merupakan politik Belanda untuk memecah belah masyarakat sekaligus untuk memudahkan tindakan represif secara masif berdasarkan kelompok yang ada. 

Pada zaman penjajahan Belanda masyarakat dibagi dalam tiga golongan yaitu Bumi Putera, Timur Asing dan Eropah. Bagi tiap golongan tersebut berlaku hukum yang berbeda.

Hal ini dalam beberapa hal tidak sengaja terbawa-bawa dalam kebijakan Pemerintah setelah merdeka, karena Pemerintah Indonesia menganut azaz konkordansi dalam menetapkan hukum, yaitu melanjutkan hukum Belanda yang ada dengan perubahan yang penting sebisanya ketika Indonesia merdeka.

Contoh Hukum Perdata Indonesia masih menggunakan Burgerlijk Wetboek sebagai Kitab Hukum Perdata dan walaupun Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia baru telah ada (yang merupakan hasil karya bangsa Indonesia sendiri) masih dalam masa transisi dan baru akan berlaku serta diterapkan nanti pada tanggal 2 Januari 2026.

Beberapa Keuntungan Mengubah KUA Melayani Seluruh Agama.

Mengubah Kantor Urusan Agama (KUA) menjadi sentra pelayanan semua agama seharusnya memiliki beberapa keuntungan yang signifikan bagi masyarakat Indonesia.

Dengan KUA menjadi pusat pelayanan semua agama, maka umat beragama dari berbagai latar belakang agama dapat dengan mudah mengakses layanan pernikahan dan pelayanan keagamaan, karena KUA ada di tingkat Kecamatan, Desa.

Hal ini memungkinkan untuk meminimalkan kesulitan administratif dan birokratis dalam pencatatan perkawinan di Indonesia.

Mengubah KUA menjadi sentra pelayanan semua agama menunjukkan inklusivitas dan keadilan terhadap semua umat beragama secara sama rata. Tidak ada lagi kesan ekslusivitas bagi agama Islam yang diistimewakan dengan adanya KUA yang hanya khusus melayani umat beragama Islam.

Hal ini menunjukkan dukungan kerukunan antar umat beragama dan sekaligus komitmen untuk memberikan layanan yang sama bagi semua warga negara, tanpa memandang latar belakang agama.

Adanya sentra pelayanan berarti menyatukan proses administrasi pernikahan dan pelayanan keagamaan di satu tempat (satu atap). Hal ini dapat meningkatkan efisiensi dalam pengurusan administrasi pernikahan dan pelayanan keagamaan.

Dengan adanya pelayanan satu atap bagi semua agama juga dapat memudahkan integrasi data pernikahan dan perceraian dari berbagai agama, sehingga memudahkan pengelolaan administrasi dan pelaporan.

Kebijakan-kebijakan terhadap policy perkawinan di Indonesia akan lebih mudah dibuat karena berdasarkan data dan riset dari administrasi yang terkumpul dalam satu wadah (tempat).

KUA yang berfungsi sebagai sentra pelayanan semua agama, diharapkan dapat meningkatkan pelayananan terhadap umat beragama sesuai dengan kebutuhan masing-masing agama, sehingga memberikan dampak positif bagi semua pihak yang memerlukan layanan keagamaan.

Hal ini akan terwujud tentunya dengan cara meningkatkan mutu dan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) - pegawai KUA yang ada saat ini.

Harus ada peningkatan dan pengetahuan baru bagi pegawai KUA tentang seluruh ketentuan agama selain aturan agama Islam yang mereka kenal selama ini.

Dengan menggabungkan layanan pernikahan dan pelayanan keagamaan dari berbagai agama di satu tempat, KUA sebagai sentra pelayanan semua agama seharusnya dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat dan memperkuat kerukunan antar umat beragama.

Namun untuk mewujudkannya selain meningkatkan kemampuan SDM terdapat juga beberapa peraturan yang perlu disesuaikan apabila rencana pernikahan semua agama di KUA hendak direalisasikan.

Perubahan Dan Penyesuaian Aturan Agar KUA Inklusif Bagi Semua Agama.

Sebagaimana kita ketahui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) mengatur tentang perkawinan serta segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan di Indonesia.

Pada Bab I Pasal 1 ayat 1 UU Perkawinan menjelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pada Bab I Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan dijelaskan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya.

Jadi keabsahan dan berlaku serta mengikatnya suatu perkawinan di Indonesia diserahkan kepada hukum agamanya masing-masing.

Akibatnya keabsahan suatu perkawinan akan sangat beragam, tergantung kepada ketentuan agama yang dianut.

Kemudian untuk melanjutkan aturan ketentuan dalam UU Perkawinan tersebut terbitlah aturan pelaksanaannya berupa Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (PP 9/1975).

Pada Bab II pasal 2 ayat 1 PP/1975  menjelaskan bahwa pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk (yang dimaksud adalah KUA)

Pada Bab II pasal 2 ayat 2 PP /1975  dijelaskan bahwa pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.

Jadi kalau ingin nantinya pencatatan perkawinan dibawah satu atap KUA, maka ketentuan PP 9/1975 harus dirubah, karena dalam PP tersebut menyatakan perbedaan pencatatan perkawinan antara Muslim dan non Muslim. Bagi yang beragama Islam dalam PP 9/1975 disebutkan dicatat di KUA, sedangkan non Muslim di Kantor Pencatatan Sipil.

Kemudian beberapa Peraturan Menteri Agama yang merupakan aturan Pelaksana dari PP No 9/1975 perlu direvisi atau dicabut, karena akan menjadi tidak relevan lagi.

Misalnya Peraturan Menteri Agama yang menempatkan secara struktur organisasi KUA Kecamatan sebagai bagian unit pelayanan umat Islam sehingga dibawah dan bertanggung jawab kepada Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.

Jadi ide untuk menetapkan KUA menjadi Sentra pelayanan seluruh Agama tidak bisa dilakukan tanpa persiapan yang matang baik dari segi SDM dan dari segi regulasi.

Agar niat baik terlaksananya ide untuk menjadikan KUA melayani administrasi perkawinan seluruh masyarakat Indonesia (tidak peduli apapun agamanya) terwujud, sebaiknya Pemerintah melakukannya dengan sungguh-sungguh.

Tanpa keseriusan dan dilakukan asal-asalan, akan bisa menjadi boomerang, dimana dengan sistim yang ada sekarang tidak ada masalah, justru dengan adanya perubahan akan menyimpan potensi masalah benturan kerukunan umat beragama.

Sebagaimana dijelaskan di atas adanya KUA melayani seluruh umat tanpa memandang apa agamanya akan mendapat keuntungan mempersatukan masyarakat dan menjadikannya tidak terkotak-kotak (inklusif).

Namun masalah ini sangat sensitif, sehingga perlu persiapan matang, tanpa tergesa-gesa, padahal masa pemerintahan yang sekarang akan berakhir dalam beberapa bulan lagi (sampai 20 Oktober 2024).

Apakah hanya dalam waktu 6 bulan yang tersisa cukup waktu untuk merealisasikannya, dengan catatan Pemerintah berikutnya tidak melanjutkan program KUA satu atap.

Apakah dalam waktu 6 bulan yang tersisa cukup waktu untuk mendidik dan meng up grade pegawai KUA yang ada serta secara simultan merevisi, mencabut aturan yang ada dan membuat aturan baru agar relevan. 

Padahal dibalik itu ada lagi masalah budaya dan sosialisi di lapangan atas perubahan tersebut. Suatu kebijakan perubahan yang sensitif tanpa uji coba dan sosialisasi, alamat mengundang bencana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun