Mohon tunggu...
Handra Deddy Hasan
Handra Deddy Hasan Mohon Tunggu... Pengacara - Fiat justitia ruat caelum

Advokat dan Dosen Universitas Trisakti

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Masa Tenang dan Lembaga Survei dalam Tahapan Pemilu

10 Februari 2024   20:40 Diperbarui: 12 Februari 2024   13:30 920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kotak suara Pemilu 2024.(KOMPAS.com) 

Hari ini, tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) sudah mendekati tahap final. Tanggal 10 Februari merupakan momen terakhir bagi kontestan Pemilu untuk melakukan kegiatan kampanye. Setelah tanggal tersebut Pemilu akan memasuki masa tenang.

Pasangan Calon (paslon) Nomor 1 Anies Baswedan - Muhaimin Iskandar melakukan Kampanye Akbar mulai pagi hari di Jakarta International Stadium (JIS) Kemayoran Jakarta. 

Paslon Nomor 2 Prabowo - Gibran Rakabumi Raka juga mengadakan Kampanye Akbar siang harinya di Jakarta atau lebih tepatnya di Gelora Bung Karno (GBK) Senayan. 

Sedangkan Paslon Nomor 3 Ganjar Prabowo -Mahfud MD mengkonsentrasikan Kampanye Akbarnya di Kota Solo dan Semarang di Jawa Tengah.

Masa tenang dalam Pemilihan Umum di Indonesia adalah periode waktu menjelang hari pemungutan suara di mana kampanye politik sudah tidak diperbolehkan.

Tujuan adanya masa tenang dimaksudkan untuk menciptakan lingkungan yang tenang dan damai sehingga pemilih dapat merenung, sehingga ketika memilih tidak ada tekanan atau pengaruh eksternal yang berlebihan.

Selama masa tenang, para kandidat, partai politik, dan pendukungnya dilarang untuk melakukan kampanye, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang dapat mempengaruhi pemilih.

Larangan ini mencakup penyebaran selebaran, iklan kampanye di media massa, dan kegiatan kampanye lainnya. Begitu juga semua alat peraga kampanye berupa poster, baliho dan lain-lain sudah tidak diperbolehkan lagi bertebaran di ruang publik. 

Namun dalam kenyataannya dalam beberapa kali Pemilu yang pernah dilakukan di Indonesia sering dimanfaatkan untuk kegiatan illegal berupa "serangan fajar". Serangan fajar merupakan istilah membagi-bagikan uang (money politics) untuk mempengaruhi rakyat pemilih untuk memilih sesuai pesanan.

Sumber; Indonesiadaily
Sumber; Indonesiadaily

Kegiatan serangan fajar kalau ketahuan dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 515 UU Pemilu ;

Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 36.000.000,00(tiga puluh enam juta rupiah).

Begitu juga untuk pelanggaran terhadap aturan masa tenang dapat dikenai sanksi sesuai dengan hukum yang berlaku. Masa tenang ini merupakan bagian penting dalam proses demokrasi di Indonesia untuk memastikan terlaksananya pemilihan umum yang adil dan bersih.

Menurut Pasal 1 angka 36 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, masa tenang adalah masa yang tidak dapat digunakan untuk melakukan aktivitas kampanye pemilu.

Selain dari aktifitas kampanye Pemilu yang dilarang selama masa tenang, juga Lembaga survei tidak diperkenankan untuk me release hasil surveinya.

Apabila Lembaga Survei tetap nekad melakukannya bisa dikenakan sanksi pidana Pemilu berdasarkan Pasal 509 UU 2017 tentang Pemilu menyebutkan: 

Setiap orang yang mengumumkan hasil survei atau jajak pendapat tentang pemilu dalam masa tenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 449 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Lembaga Survei Sehubungan Dengan Pemilu.

Dalam beberapa Pemilu yang telah beberapa kali dilakukan di Indonesia secara tidak langsung masyarakat sudah sangat akrab dengan yang dinamakan Lembaga Survei.

Kehadiran Lembaga Survei sehubungan dengan pemilihan umum di Indonesia adalah  merupakan badan atau institusi yang melakukan survei pendapat publik terkait preferensi pemilih terhadap kandidat-kandidat yang bertanding dalam pemilihan umum.

Lembaga ini memiliki peran penting dalam memantau dan mengukur tingkat popularitas, dukungan, dan preferensi pemilih terhadap para kandidat dan partai politik yang sedang bersaing.

Dalam mengeluarkan hasilnya, Lembaga Survei biasanya menggunakan berbagai metode penelitian ilmiah, termasuk wawancara langsung, telepon, atau kuesioner daring, untuk mengumpulkan data dari responden yang mewakili beragam lapisan masyarakat.

Hasil survei yang diterbitkan oleh lembaga survei dapat memberikan informasi yang berharga bagi kandidat, partai politik, media, dan masyarakat umum dalam memahami dinamika politik dan preferensi pemilih.

Beberapa partai politik biasanya akan sering secara reguler merujuk hasil Lembaga Survei, apabila elektabiltasnya tinggi, karena bisa juga dijadikan bagian kampanye yang efektif.

Namun demikian, dalam proses pemilihan umum, hasil survei dari lembaga survei juga sering menjadi subjek perdebatan dan kritik.

Apalagi ternyata partai politik atau kandidat yang elektabiltasnya rendah akan sewot dan berusaha untuk mengkritik hasil survei karena tidak menguntungkan baginya dan merupakan publikasi yang sangat merugikan.

Kritikan yang dilakukan biasanya berkaitan dengan cara-cara metode survei, biasnya, dan tuduhan memanipulasi hasil survei dengan untuk kepentingan politik tertentu (survei pesanan). 

Karenanya, penting bagi masyarakat untuk memahami dan menilai hasil survei dari berbagai lembaga dengan kritis dan melihatnya sebagai salah satu sumber informasi yang perlu dikonfirmasi dengan sumber-sumber lainnya. 

Artinya masyarakat tidak perlu terlalu cepat menelan dan percaya begitu saja hasil dari suatu Lembaga Survei dalam Pemilu.

Aturan Hukum Yang Harus Ditaati Oleh Lembaga Survei

Sabagaimana telah disinggung di atas Lembaga Survei harus taat kepada aturan Pasal 449 ayat 2 UU Pemilu yang menyebutkan pengumuman hasil survei dilarang dilakukan dalam masa tenang, karena merupakan perbuatan pidana Pemilu yang dapat dikenakan sanksi pidana dan denda.

Artinya partisipasi masyarakat dalam bentuk sosialisasi Pemilu, pendidikan politik bagi Pemilih, survei atau jajak pendapattentang Pemilu, serta penghitungan cepat hasil Pemilu wajibmengikuti ketentuan yang diatur oleh Undang-Undang.

Selain masyarakat cukup akrab dengan hasil survei juga mengenal hasil survei dalam bentuk lain yang dinamakan perhitungan cepat (quick count).

Hasil survei (jajak pendapat) dan perhitungan cepat (quick count) walaupun mempunyai metode yang sama, namun merupakan dua hal yang berbeda.

Hasil survei atau jajak pendapat berdasarkan kepada data yang diperoleh melalui penelitian pendapat publik yang dilakukan oleh lembaga survei atau lembaga riset.

Survei ini dilakukan sebelum hari pemungutan suara dan bertujuan untuk mengukur preferensi dan dukungan pemilih terhadap kandidat-kandidat yang bersaing dalam pemilihan umum. 

Hasil dari survei ini tidak mengikat dan bersifat proyeksi berdasarkan sampel responden yang diwawancarai atau dijadikan responden dalam survei.

Sedangkan perhitungan cepat (quick count) merupakan proses penghitungan suara yang dilakukan secara cepat setelah pemungutan suara berakhir.

Ini dilakukan untuk memberikan perkiraan hasil pemilihan secepat mungkin. Perhitungan cepat harus dilakukan oleh lembaga atau badan yang ditunjuk secara resmi dan terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU). 

Perhitungan cepat (quick count) bersifat sementara dan tidak bersifat resmi atau final. 

Dengan adanya hasil perhitungan cepat dapat memberikan indikasi awal tentang hasil pemilihan, namun hasil resmi tetap ditentukan oleh KPU setelah melalui proses rekapitulasi suara yang lebih lengkap, berjenjang dan menyeluruh.

Dengan demikian, hasil survei atau jajak pendapat bertujuan untuk memperkirakan preferensi pemilih sebelum pemungutan suara, sementara perhitungan cepat (quick count) dilakukan setelah pemungutan suara selesai dan untuk memberikan gambaran awal hasil pemilihan sebelum hasil resmi diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Oleh karena antara jajak pendapat dan quick count berbeda, maka aturan tentang keduanya juga berbeda. Misalnya perhitungan cepat (quick count) baru boleh me release  hasilnya setelah Pemilu telah selesai dan harus menyatakan bahwa dengan tegas hasilnya bukan merupakan hasil resmi.

Hal demikian disebutkan dalam Pasal 540 UU Pemilu yang menyatakan bahwa ;

Pelaksana kegiatan penghitungan cepat yang melakukan penghitungan cepat yang tidak memberitahukan bahwa prakiraan hasil penghitungan cepat bukan merupakan hasil resmi Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 449 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).

Pelaksana kegiatan penghitungan cepat yang mengumumkan prakiraan hasil penghitungan cepat sebelum 2 (dua) jam setelah selesainya pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 449 ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama I (satu) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp18.OOO.OOO,OO (delapan belas juta rupiah.

Oleh: Handra Deddy Hasan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun