Istilah yang tepat digunakan untuk menggambarkan ketiadaan sentuhan atau keterlibatan manusia dalam transaksi jual beli adalah "touchless" atau "contactless". Istilah ini mengacu pada sistem atau teknologi yang memungkinkan konsumen untuk melakukan transaksi tanpa harus menyentuh atau berinteraksi langsung dengan orang lain.
Di Jepang, pendekatan touchless dalam transaksi jual beli telah diterapkan secara luas, terutama melalui penggunaan teknologi pembayaran nirkontak seperti kartu IC (Integrated Circuit)Â atau dompet digital. Contohnya adalah penggunaan kartu Suica, Pasmo, atau ICOCA yang dapat digunakan untuk membayar di mesin penjualan otomatis (jihanki), kombini atau transportasi umum tanpa harus menyentuh uang tunai atau panel pembayaran.
Selain itu, teknologi pembayaran nirkontak seperti Near Field Communication (NFC) dan Quick Response (QR) codes juga populer di Jepang.Â
Di Indonesia Bank Indonesia juga gencar mempromosikan cara pembayaran melalui QRIS, bahkan Indonesia telah melakukan kerjasama dengan negara-negara ASEAN seperti Malaysia, Thailand dan Filipina. Jadi dengan QRIS kita telah bisa berbelanja di negara-negara tersebut. Sedangkan dengan negara Jepang, Indonesia sedang melakukan penjajakan.
Pengguna dapat membayar dengan menggunakan ponsel cerdas mereka yang mendukung teknologi ini, dengan cara mendekatkannya ke mesin pembayaran atau memindai kode QR yang ditampilkan di layar.
Secara umum, konsep touchless atau contactless telah menjadi tren yang kuat dalam transaksi jual beli di Jepang dan banyak negara lainnya, karena dapat meningkatkan kenyamanan, kecepatan, dan keamanan transaksi.
Bagi Jepang konsep transaksi touchless merupakan solusi dari kekurangan tenaga kerja karena negatif growth populasi.
Tingginya harapan hidup dan terjadinya penurunan angka kelahiran serta ditambah dengan kombinasi syarat imigrasi yang ketat adalah merupakan faktor-faktor yang berperanan menciptakan negatif growth populasi di Jepang.
Oleh karenanya setiap mahasiswa asing yang study di Jepang ketika dapat visa belajar sekaligus juga dapat visa kerja agar bisa bekerja magang di Jepang. Dengan aturan pemberian visa kerja bagi mahasiswa asing, maka Jepang dapat tenaga kerja murah dan berkualitas untuk magang untuk memenuhi kekurangan tenaga kerjanya.
Namun sebagaimana biasa Jepang sangat ketat dengan aturan magang mahasiswa asing di Jepang. Kalau mahasiswa tersebut macam-macam dan melanggar aturan ancamannya bisa dipulangkan alias visa belajar nya tidak diperpanjang.
Misalnya apabila mahasiswa tersebut terlalu semangat cari uang dengan magang, sehingga lupa kuliah sehingga prosentase kehadiran (absensi) kurang dari 80 persen, maka alamat visa belajarnya tidak akan diperpanjang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H