Mohon tunggu...
Handra Deddy Hasan
Handra Deddy Hasan Mohon Tunggu... Pengacara - Fiat justitia ruat caelum

Advokat dan Dosen Universitas Trisakti

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Menyelisik Sengkarut Sorak Sorai Menolak UU Cipta Kerja

8 Oktober 2020   20:51 Diperbarui: 9 Oktober 2020   15:54 1047
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kericuhan terjadi saat demonstrasi menolak UU Cipta Kerja di kawasan Istana Negara, Jakarta, Kamis (8/10/2020).(KOMPAS.com / KRISTIANTO PURNOMO)

Hanya butuh 3 hari setelah Undang-Undang Cipta Kerja disahkan oleh DPR, telah terjadi hingar bingar demonstrasi di mana-mana. Unjuk rasa memprotes Undang-Undang Cipta Kerja menyebar ke seluruh Indonesia. 

Demonstrasi berlangsung di Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Jambi, Banten, Jawa Tengah, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Tenggara. Unjuk rasa selain dilakukan oleh buruh juga oleh mahasiswa. Demontrasi di depan kantor DPRD Lampung berakhir ricuh, sehingga melukai beberapa mahasiswa dan juga polisi (Kompas 8 Oktober 2020). 

Aksi unjuk rasa seperti ini nampaknya bukan meredup, malah ada kecenderungan akan meningkat di hari-hari berikutnya. Kerusuhan dan unjuk rasa tidak hanya terjadi di lapangan, media sosial ikut membakar semangat kekacauan dengan banyaknya info-info yang berseliweran tanpa kendali baik berupa video atau foto maupun narasi tulisan. 

Video atau foto yang diedit serta tulisan-tulisan yang bernada provokasi dengan rasa kebencian dan kebohongan tidak bisa lagi dihindari. Media mainstream khususnya media elektronik tidak mau kalah memberitakan detik demi detik secara "live" unjuk rasa yang terjadi di lapangan.

Perlu cara berfikir yang dapat mengklasifikasi untuk mengurai sengkarut sorak sorai protes UU Cipta Kerja agar permasalahan bisa dilihat secara jernih. 

Pemikiran jernih berguna agar tidak terombang ambing tanpa arah dalam kebingungan dalam menilai apa yang sebenarnya terjadi. 

Gelombang penolakan yang masif baik unjuk rasa di jalanan maupun opini-opini di media baik sosial dan mainstream kalau kita urai bukanlah suatu gerakan satu padu. 

Untuk memahaminya perlu menyelisik dan menyisir serta mengklasifikasi gerakan dalam beberapa kelompok sesuai pemahaman serta motif dari pelaku-pelakunya.

Kekuatan Media Sosial
Kelompok yang pertama, adalah kelompok yang terhasut arus informasi media sosial yang direkayasa.

Kata "omnibus" adalah suatu kata yang baru yang memancing keingintahuan. Bukan hanya masyarakat awam saja yang belum tau apa yang dimaksud "omnibus", kalangan ahli hukum sekalipun banyak yang tidak tau apa yang dimaksud "omnibus".

Bagi yang malas berpikir dan baru mengenal teknologi informasi, akan mencari informasi gampang yang mudah dicerna di media sosial. Sebagian sebelum mencari telah mempunyai rasa benci terpendam dalam dirinya terhadap kelompok atau golongan tertentu. 

Sehingga informasi yang dicari adalah informasi yang sifatnya mengkonfirmasi sesuai dengan jalan pikirannya. Bertemunya antara rasa benci dengan berita yang dipelintir di media sosial bagaikan ruas ketemu buku.

(Foto: Instagram/solaah_)
(Foto: Instagram/solaah_)
Kemudian perasaan berada dalam suatu kelompok yang mempunyai pendapat sama seolah-olah telah menemukan kebenaran atas dugaan-dugaan negatif yang sudah mengakar selama ini. 

Eksistensi dalam kelompok menimbulkan percaya diri dan menambah semangat serta kekuatan untuk melampiaskan rasa benci yang terpendam. 

Kelompok pertama ini tidak terbatas kepada masyarakat awam, mereka bisa jadi para pakar, akademisi, pensiunan pejabat baik sipil militer, pegawai, buruh, advokat, swasta, dan lain sebagainya dalam beragam profesi dan berbagai strata. 

Ciri dari gerakan mereka adalah mengusung kelemahan atau kekurangan suatu isu tanpa perlu melihat secara keseluruhan, bahkan cenderung membesar-besarkan masalah. 

Untuk melampiaskan kebencian yang sudah ada dalam dirinya, kalau diperlukan ditambahkan dengan informasi berita bohong (hoaks) untuk membuat dampak lebih besar dan luas. 

Prinsip "bad news is good news" merupakan pegangan kuat dari kelompok ini. Mereka dengan suka rela bersedia menjadi "buzzer" gratis untuk menyuarakan konten-konten yang diyakininya adalah kebenaran.

Kelompok ini mempunyai populasi yang cukup besar untuk bisa membuat keresahan. Pengikut-pengikutnya militan karena "di-brain wash" dengan "jargon-jargon" dan "labelling" oleh agitator dan provokator yang lihai. 

Isu-isu yang rumit bisa dijelaskan oleh provokator dengan alasan yang masuk akal secara sederhana dengan arti seperti apa yang diinginkannya. 

Pihak penerima informasi tidak sadar telah disesatkan, bahkan sangat percaya bahwa mereka sedang memperjuangkan kebenaran.

Korban luka bahkan meninggal dalam unjuk rasa yang chaos biasanya adalah pengikut yang seperti ini, yang kadang-kadang tidak tau makna apa yang diperjuangkannya. Mereka militan, berani mati karena mereka percaya dengan agitasi dan provokasi pemimpin-pemimpin mereka.

Begitu juga mereka yang terjerat dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE). Mereka merasa konten dari kelompoknya adalah pembawa suara kebenaran, tanpa ragu bahkan mereka berlomba-lomba menyebarkan berita berbau kebencian dan kebohongan.

Biasanya setelah dijadikan tersangka berdasarkan Pasal 28 UU ITE dengan ancaman hukuman hingga 6 tahun pidana penjara dan/atau denda hingga Rp1 milyar, barulah mereka sadar telah melakukan kekeliruan. Banyak dari mereka menyesal karena khilaf bahkan meminta maaf atas kekeliruannya.

Menaikkan Posisi Tawar
Kelompok yang kedua adalah kelompok yang memanfaatkan suatu isu untuk menaikkan posisi tawar yang lebih menguntungkan baik bagi pribadinya maupun untuk kepentingan kelompoknya. 

Kelompok ini tidak melakukan agitasi atau provokasi kepada publik, tapi hanya sekadar memanfaatkan isu yang sedang hangat. Caranya dengan mendompleng popularitas kecenderungan suatu isu, seperti mendorong biduk ke hilir. 

Dengan upaya yang sedikit akan menghasilkan keuntungan yang besar. Kalau yang bersangkutan adalah pemimpin-pemimpin serikat buruh, isu penolakan UU Cipta Kerja bisa melambungkan namanya meroket dengan sedikit usaha. 

Cukup memberikan pernyataan ekstrim di berbagai media yang seolah-seolah membela kepentingan buruh akan menarik perhatian dan meningkatkan popularitas. 

Popularitas pada waktunya bisa digunakan untuk posisi tawar, baik untuk jabatan yang bagus di pemerintahan atau bisa digunakan untuk menakuti-menakuti para pengusaha. 

Pengusaha yang ketakutan akan adanya pemogokan massal bersedia memberikan imbalan kepada pemimpin serikat buruh yang dipercayanya bisa meredam aksi buruh.

Apabila kelompok ini para pakar dan akademisi, saatnya untuk mendongkrak popularitas untuk kepentingan asap dapur. Berikan publik analisa-analisa cerdas yang simpatik sesuai keinginan publik tanpa perlu menyodorkan kebenaran substantif. Yang penting pendapat yang populer memenuhi hasrat orang banyak. 

Akan lebih kuat lagi gemanya kalau opini bertentangan dengan penguasa. Popularitas akan meningkatkan jumlah follower di medsos yang tujuannya untuk menghasilkan uang. 

Jumlah follower yang bejibun juga berpotensi mendapatkan kontrak untuk mengendorse suatu produk yang akan mendapat pembayaran oleh pemilik produk. Selain itu  popularitas akan memancing kehujanan job untuk berbicara di banyak forum yang menghasilkan uang.

Apabila kelompok ini petinggi partai politik, maka "isu sexy" penolakan UU Cipta Kerja akan menjadi perhatian utama untuk mencari simpati pemilih. 

Inilah saatnya menunjukkan bahwa partainya sangat peduli kepada masyarakat yang tertindas. Inilah saatnya menunjukkan wajah prihatin yang seolah-olah merupakan program partai sejak awal berdirinya. 

Pernyataan disusun dengan hati-hati agar kelihatan partainya lah yang paling peduli dengan isu yang meresahkan masyarakat dengan tujuan akhir menimbulkan simpati dan berharap masyarakat akan memilih partainya.

Malah kalau memang diperlukan memainkan drama "playing victim" dengan membuat skenario bahwa kelompoknya juga merupakan korban. Penampilannya di muka umum seperti serigala berbulu domba.

Kelompok yang kedua ini hampir tidak punya risiko ancaman hukum. Selain pelakunya terbatas kepada para petinggi juga biasanya punya pengalaman dengan kecerdasan yang mumpuni. 

Juga susah mengukur apakah perbuatannya di tengah masyarakat betul-betul tulus atau hanya sekadar pencitraan. Kecuali apabila mereka terlalu bersemangat dan keluar garis dengan meniupkan informasi berita bohong dan ujaran kebencian, maka juga akan terjerat dengan UU ITE.

Korban yang Sebenarnya
Kelompok yang ketiga adalah kelompok korban yang sebenarnya dari suatu isu. Kalau memang UU Cipta Kerja merupakan langkah mundur dari UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka korban atau yang kehilangan hak-haknya adalah buruh. 

Pemerintah telah meyakinkan melalui aparatnya bahwa UU Cipta Kerja malah akan menguntungkan pekerja karena akan memperluas lapangan kerja. Perlu langkah hukum yang elegan untuk mempertemukan keinginan buruh dengan penjelasan pemerintah.

Unjuk rasa, demonstrasi atau dikenal dengan mogok kerja merupakan hak dasar dari pekerja sebagaimana diatur dalam Pasal 137 Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). 

Walaupun merupakan hak dasar harus dilakukan sesuai dengan syarat UU, antara lain tidak boleh mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain (Pasal 139 UU Ketenagakerjaan).

Senyatanya alasan mogok kerja seharusnya ditujukan karena gagalnya mempertemukan keinginan pihak pekerja dan pengusaha. Bukan untuk membatalkan suatu UU. 

Kondisi sekarang dengan disahkan UU Cipta Kerja, pekerja tidak berhadapan dengan pengusaha, pemerintah atau DPR, tetapi berhadapan dengan UU. 

Selain itu, langkah-langkah anarkis demo yang hinggar bingar malah membahayakan kesehatan karena cenderung akan melanggar protokol kesehatan dalam masa pandemi.

Unjuk rasa memang cara yang efektif untuk menarik perhatian sekaligus menunjukkan ancaman kepada pengusaha yang mengabaikan hak-hak pekerja yang tidak sesuai dengan ketentuan UU.

Upaya mogok kerja untuk melawan ketentuan UU Cipta Kerja yang tidak memenuhi keinginan para pekerja tidak akan efektif. Apalagi dalam kondisi pandemi covid-19 sulit untuk mendapat perizinan untuk berkumpul dalam kerumunan karena akan membahayakan kesehatan. Pelanggaran protokol kesehatan dapat membuat kluster baru penyebaran virus covid-19 yang mengancam nyawa secara masif.

Pilihan bagi kelompok yang menjadi korban untuk berunjuk rasa selain tidak tepat guna, juga akan melanggar hukum serta akan mengancam keselamatan karena adanya pandemi covid-19.

Cara yang paling efektif sesuai dengan koridor hukum sekalian menjaga niat tulus memperjuangkan hak-haknya adalah melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.

Saatnya bagi korban yang sebenarnya dan pihak-pihak mana saja yang memang tulus memperjuangkan hak buruh untuk bertarung secara fair di hadapan hukum.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi memberi peluang setiap warga negara yang hak-haknya dilecehkan oleh Undang-Undang.

Undang-Undang Omnibus Cipta Kerja kalau ternyata memang telah membuat kaum pekerja dieksploitasi oleh kaum pengusaha bisa dihapus sebagian atau seluruhnya bila bertentangan dengan keadilan yang diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945. 

Para pendiri bangsa besar Indonesia telah mendirikan negara Republik Indonesia dengan konstitusi yang kita percaya melindungi seluruh rakyat Indonesia dengan Undang-Undang Dasar 1945. 

Mari kita teladani pendiri bangsa yang percaya kepada hukum dan berjuang atas nama hukum. Mari kita uji, kita kawal hak-hak saudara-saudara kita kaum buruh untuk berjuang secara hukum dengan mengajukan judicial review atas Undang-Undang Omnibus Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi. 

Fiat Justitia Ruat Caelum, walaupun langit akan runtuh, kebenaran tetap harus ditegakkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun