Aturan KPU dengan sanksi ringan dan mandulnya Polri menegakkan pidana merupakan representasi bahwa hukum belum siap untuk meladeni pelaksanaan Pilkada serentak dalam situasi pandemi covid-19. Pihak yang tidak setuju pelaksanaan Pilkada serentak punya alasan untuk menunda sementara dan mengusulkan dalam waktu penundaan dimanfaatkan sekalian untuk menyiapkan PERPU.Â
Adanya Perpu dengan aturan yang mumpuni untuk menadah kegiatan pilkada dalam kondisi darurat (pandemi covid-19) akan membuat kontestan dan aparat2 pelaksana pilkada menjadi pede (percaya diri). Â Aturan berupa Perpu yang jelas dengan sanksi yang tegas akan membuat kontestan pilkada serentak berikut pengikut2nya tidak sewenang2 melanggar protokol kesehatan yang dikawatirkan bisa membuat kluster baru.
Secercah Sinar Harapan Penegakan Hukum Kekarantinaan
Ditengah kekawatiran dimulainya masa kampanye pemilu serentak yang akan memicu kluster baru pandemi, ada secercah harapan gebrakan Polri yang menegakkan hukum Kekarantinaan.Â
Penegakkan UU No 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan diharapkan bisa meredam nafsu kontestan dan pengikutnya melanggar protokol kesehatan. Sesuai Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan, setiap orang yang tidak mematuhi atau menghalangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan hingga menyebabkan darurat kesehatan masyarakat dapat dipidana paling lama 1 tahun dan/atau denda Rp100jt.
Kepolisan Resor Tegal memberikan pencerahan dengan menggunakan UU Kekarantinaan untuk menjadikan tersangka Wakil Ketua DPRD Tegal Wasmad Edi Susilo hari Senin 28 Agustus 2020. Wasmad adalah pejabat pertama yang mencicipi ancaman pidana UU Kekarantinaan (Kompas 29 September 2020). Timbulnya kasus pelanggaran kekarantinaan bukan berhubungan dengan kampanye pilkada.Â
Penetapan Wasmad jadi tersangka bermula dari adanya acara dangdutan yang digelar di Lapangan Tegal Selatan Rabu 23 September 2020. Wasmad sebagai pihak yang menginisiasi acara dangdutan dianggap bertanggung jawab menimbulkan risiko penularan virus covid-19, ia juga dianggap tidak mengindahkan peringatan petugas untuk menghentikan acara.Â
Selain Wasmad dijadikan tersangka, Kapolsek Tegal Selatan juga jadi korban, dicopot dari jabatannya karena dianggap bertanggung jawab. Penegakan hukum Pasal 212 dan Pasal 2018 Kuhpidana serta Pasal 93 UU no 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan untuk kasus dangdutan yang dilakukan Samad merupakan pencerahan bagi kita bahwa Polri tidak tinggal diam bagi pelanggar2 protokol kesehatan.Â
Harusnya kasus Samad jadi acuan bertindak bagi kontestan pilkada dan pengikutnya melakukan kampanye yang mengerahkan massa. Masyarakat berharap para kontestan pilkada dan pengikutnya bercermin kepada kasus Samad agar tidak timbul lagi kluster pandemi baru karena kampanye mengerahkan massa.
Setitik harapan untuk menegakkan UU Kekarantinaan oleh Polri kembali memudur, redup kehilangan cahaya. Keterangan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Awi Setiyono bahwa kepolisian tidak bisa asal memidanakan pasangan calon yang melanggar protokol kesehatan.Â
Ada ketentuan dari KPU yang mengatur tentang sanksi, ujarnya (Kompas, 30 September 2020). Keteramgan Humas Polri seperti kata bersayap untuk terbang lari dari tanggung jawab bersembunyi dibalik aturan KPU. Dengan materi keterangan seperti yang diucapkan Humas Polri, nampaknya Polri gamang melewati garis yang berbau politik walaupun dalam rangka penegakan hukum.
Seharusnya disinilah Polri menunjukkan profesionalitasnya dalam menjalankan Undang2 seperti penegakan hukum. Polri harusnya bisa memperlihatkan dirinya mengusung hukum diatas segala2nya sehingga tidak kawatir akan digunakan oleh salah satu kontestan untuk menjatuhkan lawannya dengan alasan penegakan hukum UU Kekarantinaan.Â