Akhirnya Pemerintah dan DPR memutuskan tetap melaksanakan Pilkada serentak dalam situasi pandemi covid-19 yang terus berkembang. Kekhawatiran bahwa pelaksanaan Pilkada, kampanye dan pencoblosan akan menimbulkan kluster baru pandemi membuat Pemerintah bergeming.Â
Beberapa konsideran yang disampaikan oleh yang tidak setuju dengan tetap dilaksanakan Pilkada serentak ditengah pandemi covid-19 tidak meluluhkan keteguhan kebijakan pemerintah. Selain berpotensi untuk lebih menyebarkan virus covid-19 yang akan membahayakan kesehatan masyarakat dengan ancaman kematian massal, juga bisa mengancam kualitas demokrasi.Â
Hal ini disampaikan antara lain oleh Jusuf Kalla, wakil Presiden periode sebelumnya bahwa partisipasi masyarakat dalam suasana pandemi covid-19 cenderung rendah. Jusuf Kalla tidak asal bunyi, beliau memberikan data2 empiris partisipasi masyarakat dari negara2 lain yang telah melakukan pemilihan umum ditengah situasi pandemi covid-19, dengan angka paling tinggi hanya 40% pemilih.Â
Rendahnya angka partisipasi pemilih membuat pemimpin yang terpilih diragukan legitimasinya memimpin daerah. Rendahnya angka pemilih akan mengkhianati azaz demokrasi bahwa rakyatlah yang berkuasa.
Dua alasan yang sangat kuat ini, terancamnya kesehatan masyarakat secara massive, rendahnya kualitas demokrasi, seharusnya cukup membuat pemerintah berfikir dua kali untuk tetap melaksanakan Pilkada serentak. Akan tetapi seperti yang kita ketahui bersama, akhirnya pelaksanaan pilkada tetap sesuai jadwal yang telah diatur antara lain masa kampanye hingga tanggal 5 Desember 2020.
Ancaman Bagi Pelanggar Kampanye.
Selain alasan utama ancaman kesehatan dan rendahnya kualitas demokrasi, pihak yang tidak setuju juga menyampaikan bahwa aturan pelaksanaan pilkada dalam masa pandemi covid-19, tidak siap. Kondisi pandemi covid-19 adalah keadaan darurat yang adanya tidak pernah dipertimbangkan sebelumnya.Â
Padahal Undang2 Pilkada serentak berikut semua regulasi yang mengikutinya didesign dan dibuat untuk pilkada dalam keadaan normal. Akibatnya di lapangan aparat penyelenggara pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) jadi gagap pada waktu pelaksaan pilkada sekarang.Â
Massivenya tindakan melanggar protokol kesehatan pada waktu pendaftaran kontestan pemilu pada awal September 2020 akhirnya hanya menjadi data mati di Bawaslu. Bawaslu tampil seperti macan ompong, dengan sedikit auman serak tanpa bisa menggigit. Aturan2 pelanggaran protokol kesehatan diancam dengan sanksi yang ringan, tidak membuat gentar sama sekali bagi pelanggarnya.
Sementara berharap kepada Polri untuk menegakkan hukum sesuai dengan Undang2 yang ada, seperti pungguk merindukan bulan. Padahal Pasal 212, 2018 KUHPidana, UU No 4/1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan UU No 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang dilanggar merupakan pidana murni, bukan delik aduan.Â
Seharusnya ada dan tidak adanya aduan atau laporan, Polisi dapat memproses dan menegakkan UU tersebut. Ancaman2 yang terkandung dalam UU diatas tidak berat, tapi sedikit menakutkan karena ada ancaman hukuman pidana penjara hingga 1 tahun 4 bulan dan/denda hingga Rp 100jt. Kalau ancaman dari PKPU No 13/2020 yang terbaru hanya sekedar teguran tertulis dan yang paling berat larangan melakukan kampanye.