Di sebuah supermarket terkenal di Jakarta, berjalanlah seorang ibu muda, cantik  , mendorong trolley belanjaan sambil bercengkrama dengan putri kecilnya yang menggemaskan. Putrinya duduk di tempat yang tersedia di bagian tertentu di trolley tersebut.Sementara sambil terus berceloteh menjawab keinginan tahu putrinya,  tidak lupa tangannya terus dengan sigap menjangkau barang2 yang dibutuhkannya dari rak supermarket yang rapi. Setelah trolley penuh dengan barang2 kebutuhan sehari2 dan menurutnya telah terpenuhi semua kebutuhan belanja bulanannya hari itu, ibu muda tersebut kemudian mulai merapat ke antrian pembayaran di kasir. Ini adalah pemandangan lazim yang akan kita saksikan sehari2 di area perbelanjaan modern. Atau seorang pemuda berjalan kaki menuju warung yang juga sekaligus tetangga dekatnya mau membeli kopi dan gula. Bu Inah pemilik warung tersenyum senang memperlihatkan pipi tembamnya ketika menerima uang pembelian kopi dan gula pemuda tetangganya. Juga bukan merupakan peristiwa luar biasa, ini peristiwa yang ada disekeliling kita tiap hari. Berbelanja, jual beli adalah peristiwa yang dilakukan masyarakat modern.
Pada jaman sekarang, nyaris tidak ada manusia yang tidak melakukan transaksi jual beli. Jangan2 andapun  sedang bertransaksi jual beli saat ini.
Transaksi jual beli merupakan cara manusia untuk memenuhi kebutuhannya sebagai makhluk sosial (Zoon Politicon ; Aristoteles).
Melakukan pembayaran merupakan bagian transaksi jual beli yang merupakan hak penjual sekaligus merupakan kewajiban pembeli. Pembayaran bisa terlaksana dengan mudah karena manusia sudah menemukan alat pembayaran berupa "uang". Walaupun metode pembayarannya berbeda2, misal menggunakan credit card, debit card, ataupun tunai (cash money), Â tetapi instrumennya tetap satu yaitu uang. Di negara Republik Indonesia mata uang yang diakui dan sah sebagai alat pembayaran, dinamakan Rupiah.
Sejauh pembayaran untuk kebutuhan personal yang nominalnya relatif sedikit, sebatas kapasitas dompet, melakukan pembayaran secara tunai tidaklah sulit. Kesulitan akan terjadi apabila mulai berbelanja kebutuhan perusahaan yang nominalnya ratusan juta bahkan miliaran rupiah. Kebutuhan cara pembayaran lain merupakan suatu keniscayaan. Sangat tidak praktis untuk melakukan pembayaran kebutuhan perusahaan sejumlah ratusan juta atau miliaran dengan uang kontan (cash money). Selain tidak praktis juga tidak aman, bisa mengundang kejahatan perampokan.
Salah satu alternatif mengatasi kesulitan demikian dan sekaligus merupakan solusi adalah melakukan pembayaran dengan menggunakan cek (cheqque). Cek adalah perintah tanpa syarat kepada Bank untuk melakukan pembayaran dalam jumlah tertentu dari pemilik rekening. Hanya dengan selembar cek yang ukurannya tak lebih luas dari uang Rp 1000,-, bisa melakukan pembayaran nominal sebesar ratusan juta bahkan miliaran rupiah. Kesulitan akan membawa uang tunai dalam jumlah banyak dengan volume besar dan berat teratasi. Masak mau melakukan pembayaran 10 miliar rupiah, mesti digotong uangnya dengan truk kecil? Tidak perlu, hanya dengan membawa selembar cek yang bisa disimpan di kantong atau tas kecil, kemudian menyerahkan  kepada penjual, kesulitan langsung teratasi. Hal yang lebih penting lagi pembayaran aman dari perampokan dan kehilangan. Cek atas tunjuk, adalah jenis cek dengan cara menuliskan nama entity yang berhak menerimanya. Walaupun cek atas tunjuk tidak sengaja tercecer ditemukan orang lain atau lebih parah lagi dicopet orang, bukanlah suatu masalah. Pencuri atau penemu cek tidak akan bisa mencairkan cek tersebut di bank penerbit cek. Cek hanya bisa dicairkan atau dikirim via kliring Bank Indonesia ke rekening yang entity yang namanya tercantum di permukaan lembar cek.
Pembayaran dengan cek dilindungi oleh Undang2. Cek diatur sejak dari Pasal 178 sampai dengan 229 Kitab Undang Hukum Dagang.
Ada lagi keuntungan lain, pembayaran menggunakan cek, yaitu gengsi. Karena tidak semua orang bisa membuka rekening koran di bank yang merupakan persyaratan untuk memperoleh cek. Persyaratan untuk membuka rekening koran jauh lebih rumit dan jauh lebih banyak syaratnya dibandingkan membuka rekening tabungan biasa. Hanya orang tertentu yang bisa punya buku cek (berisi lembaran cek) sehingga bisa menerbitkan cek untuk melaksanakan pelunasan pembayaran yang merupakan kewajibannya. Masyarakat beranggapan, hanya orang2 kaya melintir yang bisa punya buku cek.
Persamaan dan Perbedaan antara Cek dan Bilyet Giro
Selain cek dikenal juga Bilyet Giro sebagai instrumen pembayaran. Secara sepintas sukar untuk membedakan kedua instrumen antara cek dan bilyet giro karena secara fisik nyaris sama, baik bentuk dan ukurannya. Malah setiap orang yang membuka rekening giro di bank, akan diberikan 2 buku. Buku pertama, buku cek yang berisi sejumlah lembaran cek. Buku berikutnya, bilyet giro yang juga berisi beberapa lembar bilyet giro.
Saat ini perbedaan antara cek dan bilyet sebatas teori yang hanya menarik dibahas dalam mata pelajaran Hukum Dagang di Fakultas Hukum, misal perbedaan masa daluarsanya. Cek merupakan surat berharga yang diatur dalam Kitab UU Hukum Dagang sedangkan bilyet giro surat yang berharga yang diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/32/KEP/DIR tanggal 4 Juli 1995 tentang Bilyet Giro. Jadi perbedaanya hanya sebatas dimana diatur, Cek diatur dalam Kitab Undang2 Hukum Dagang, Bilyet Giro diatur oleh SK Gubernur BI.
Perbedaan berikutnya, cek merupakan perintah tanpa syarat kepada bank untuk melakukan pembayaran oleh pemilik rekening. Sedangkan Bilyet Giro merupakan perintah pemindah bukuan kepada bank dari pemilik rekening. Akibatnya ada sedikit perbedaan antara cek dan bilyet giro. Cek bisa diuangkan/dicairkan langsung oleh pemegang cek, setiap saat, tanpa mempertimbangkan tanggal yang tercantum pada cek. Sedangkan bilyet giro tidak bisa, harus melalui kliring Bank Indonesia, sesuai dengan tanggal jatuh temponya.Tapi perbedaan ini tidak mutlak karena cek atas tunjuk (ditulis nama tujuan pemberian cek), juga tidak bisa dicairkan pembawa cek. Kecuali melalui mekanisme kliring Bank Indonesia sebagaimana Bilyet Giro.
Sebetulnya pernah pada satu masa ada perbedaan signifikan antara Cek dan Bilyet Giro yaitu ketika diundangkannya Undang2 No 17 tahun 1964 tentang Larangan Pembukaan Cek Kosong. Sesuai dengan Pasal 3 UU tersebut pembukaan cek kosong merupakan kejahatan, malah termasuk kejahatan luar biasa karena ancamannya bisa hukuman mati. Oleh karena situasi dan kondisi di tengah masyarakat mengalami perubahan, maka UU tersebut kemudian dicabut dengan Perpu Nomor 1 tahun 1971, sehingga UU tersebut tidak berlaku sejak saat itu. Akibatnya membuka cek kosong tidak serta merta merupakan kejahatan lagi, namun mesti dilihat secara komprehensif seluruh perbuatan yang menyertainya.
Cek dan Bilyet Giro Kosong.
Cek dan Bilyet Giro kosong adalah cek atau bilyet giro yang diunjukkan dan ditolak bank/tertarik dalam tenggang waktu adanya penyediaan dana oleh penarik (yang punya cek/bilyet giro) karena saldo tidak cukup atau rekeningnya telah ditutup.
Jadi selain ada keuntungan2 bagi pembeli dan penjual memakai pembayaran menggunakan cek, juga ada potensi kerugian bagi penjual. Adanya jeda waktu ketika cek atau bilyet giro diserahkan oleh Pembeli kepada Penjual merupakan "critical time". Dalam kenyataannya Pembeli akan menerima nominal uang, bukan ketika cek/bilyet giro diserahkan, tetapi pada waktu dicairkan. Penjual yang berpengalaman hanya akan menerima pembayaran menggunakan cek/bilyet giro bila ada rasa percaya kepada Pembeli. Rasa percaya bisa terbentuk karena historikal transaksi, yaitu ketika transaksi telah terjadi berulang sejak dahulu. Atau karena sosok pembeli yang sudah punya reputasi bagus. Cara lain  adalah penjual memberikan syarat khusus, yaitu delivery barang yang dibeli dilakukan setelah nominal yang tercantum dalam cek/bilyet giro masuk ke rekening penjual.
Adanya celah menggunakan cek/bilyet giro dalam pembayaran digunakan oleh pihak2 yang beritikad buruk dengan menerbitkan cek/bilyet giro kosong. Dengan dicabutnya Undang2 tentang Cek kosong bukan berarti bahwa penerbitan cek/bilyet kosong bukan peristiwa pidana. Pelaku bisa dijerat dengan Pasal 378 KUHPidana, tindak pidana penipuan. Unsur tipu muslihat atau rangkaian kebohongan sehingga penjual menyerahkan barangnya dapat menjerat pelaku penerbit cek/bilyet kosong. Hal tersebut bila dapat dibuktikan bahwa penerbit cek kosong sejak awal memang tidak punya saldo di rekeningnya, tujuannya menyerahkan cek/bilyet giro agar memperoleh barang secara illegal. Kontruksi demikian memenuhi unsur tindak pidana penipuan sebagaimana dimaksud Pasal 378 KUHPidana.
Selain resiko pidana, penerbit cek/bilyet giro kosong juga akan menerima kemungkinan digugat secara perdata karena wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Wanprestasi karena penerbit cek/bilyet kosong tidak memenuhi prestasi/kewajiban yang harus dilakukannya sehingga perjanjian jadi tidak mempunyai kekuatan hukum alias batal. Apabila akibat penerbitan cek/bilyet giro kosong menimbulkan kerugian bagi penjual, maka penjual bisa menuntut ganti rugi. Pasal 1365 KIHPerdata mengatur tentang perbuatan melawan hukum, dimana pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi baik kerugian materil yang diderita maupun kerugian immateril.
Resiko Masuk Kedalam Daftar Hitam.
Resiko pidana dan perdata yang akan dilancarkan oleh pihak penjual belum cukup, ada lagi resiko akan masuk dalam daftar hitam (black list) Bank Indonesia. Bank Indonesia sebagai regulator mengeluarkan Surat Edaran Bank Indonesia No 2/10/DASP tahun 2000 tentang Tata Usaha Penarikan Cek/Bilyet Giro Kosong. Dalam SE BI dimaksud pelaku2 penerbit Cek/Bilyet Giro kosong apabila menerbitkan 3 kali cek/bilyet kosong dalam kurun waktu 6 bulan padahal sudah diperingatkan atau menerbitkan cek/bilyet giro kosong dengan nominal minimal 1 milyar rupiah, akan dimasukkan dalam daftar hitam. Akibat dari masuk daftar hitam maka pelaku wajib menutup rekeningnya dan selama setahun tidak dibenarkan mempunyai rekening giro di bank. Hukuman daftar hitam Bank Indonesia akan mempersulit pengusaha yang beritikad baik. Akibatnya bisa berdampak buruk kepada bisnis yang sedang berjalan. Berdasarkan hal tersebut Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan yang membantu pengusaha yang memang tidak berniat buruk, tapi terjerat dengan perbuatan penerbitan cek kosong. Berdasarkan SE BI No 1008/17/DASP tanggal 25 Juli 2006, bagi pengusaha yang terjerat masuk daftar karena situasi darurat, seperti kerusuhan, kebakaran, termasuk pendemi yang tidak bisa diduga sebelumnya sehingga penyediaan saldonya terlambat di bank tertarik dapat mengajukan pembatalan daftar hitam melalui bank.
Begitu juga bagi pengusaha yang teledor tanpa sengaja sehingga pengelolaan management saldo banknya "short term liquidity mismatch", dapat juga mengajukan pembatalan masuk dalam daftar hitam. Bisa saja dalam praktek ada keterlambatan penyeroran beberapa jam secara tidak sengaja mengakibatkan cek ditolak bank dan masuk dalam daftar hitam. Berdasarkan SE BI no 8/33/DASP tanggal 20 Desember 2006, pengajuan pembatalan tersebut terbatas dalam jangka waktu 7 hari terhitung sejak penolakan cek/bilyet giro. Apabila lewat jangka waktu tersebut maka pelaku penerbit cek kosong akan kehilangan haknya.
Pengecualian2 seperti keadaan darurat dan kelalaian mismathing saldo hanya khusus untuk hukuman masuk daftar hitam, Bank Indonesia tidak bertanggung jawab terhadap resiko pidana dan perdata yang berasal dari pihak lain. Keluarnya dari daftar hitam Bank Indonesia tidak otomatis menghilangkan unsur pidana dan perdata perbuatan menerbitkan cek kosong.
Walaupun keadaan darurat seperti pendemi covid-19, dapat jadi alasan pemaaf untuk masuk dalam daftar hitam Bank Indonesia seharusnya pengusaha tetap hati2 dalam menerbitkan cek/bilyet giro. Resiko terjebak menerbitkan Cek/Bilyet Giro kosong merupakan uang sekolah yang sangat mahal, bagi pengusaha yang mempunyai itikad baik dalam menjalankan bisnisnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H