Kombes Pol Riko Sunarko Kapolrestabes Medan mengejar salah satu tersangka kasus dugaan prostitusi. Dugaan prostitusi ini melibatkan artis Ftv selebgram HH (23). Calon tersangka yg dikejar berinisial J yang berprofesi sebagai photografer. J diduga  berada di Jakarta sesuai dengan domisilinya. Untuk memperlihatkan keseriusannya Kapolrestabes Medan membentuk tim khusus. Selain J yang lagi dikejar, tersangka lain R yang berdomisili di Medan telah ditangkap dan telah ditahan. Kedua tersangka akan dijerat dengan Pasal 2 UU No 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafficking).
Prostitusi dikalangan artis sudah jamak terjadi. Transaksinyapun melibatkan jumlah uang yang relatif besar. Untuk kasus HH Â yang di Medan ini menurut pemberitaan tarifnya Rp 20.000.000,-. Malah dalam kasus yg sama dan melibatkan artis Vanessa Angel (VA) dan Avriella Shaqilla (AS) tarifnya lebih fantastis yaitu Rp 80.000.000,- untuk sekali kencan. Kasus yang terjadi awal tahun yang lalu di Polda Jatim tersebut telah mempidanakan Endang (E) dan Tentri (T) sebagai mucikari dengan Pasal 27 (1) dan Pasal 45 (1) UU No 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto Pasal 296, 506 KUHPidana.
Prostitusi di kalangan artis akan menarik perhatian masyarakat karena melibatkan orang2 populer dan jumlah uang yang relatif banyak.
Perbedaan UU yang digunakan untuk menuntut.
Walaupun kasus antara Polda Jatim dan Polrestabes Medan identik, namun ada yang menarik dibahas secara hukum.
Dalam kasus yang di Polrestabes Medan , polisi menggunakan UU Trafficking sedangkan kasus yang di Polda Jatim menggunakan delik pidana mucikari.
Sebetulnya apa perbedaan prinsip dalam menggunakan kedua delik pidana tersebut?. Tentunya perbedaan penggunaan UU untuk menuntut didasarkan kepada fakta hukum yang ditemukan.
Polrestabes Medan yang menggunakan UU Trafficking seyogyanya menemukan tersangka J dan/atau R melakukan ancaman, penggunaan kekerasan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau yang sejenis dengan itu. Artinya saksi korban HH melakukan kegiatan seksual tidak dengan sukarela.Â
Sehingga HH sebagai korban mendapat penderitaan psikis, mental, pisik dan seksual. Menggunakan UU Trafficking, juga mempunyai konsekwensi bagi pemakai. Pemakai atau pemesan prostitusi secara logis juga bisa dijerat karena merupakan bagian dari rentetan kegiatan yang mengakibatkan penderitaan korban. Ancaman sanksi UU Trafficking minimal 3 tahun, maksimal 15 tahun penjara dan pidana denda minimal RP 120.000.000,- dan maksimal Rp 600.000.000,-.
Berbeda dengan Polrestabes Medan.
Dalam kasus VA dan AS, Â Polda Jatim menggunakan delik mucikari yang ada di KUHPidana. E dan T terbukti di Pengadilan secara aktif mempromosikan atau memfasilitasi seseorang berbuat cabul dan mendapat fee.
Ancaman hukuman mucikari lebih rendah dari Trafficking yaitu hanya maksimal 1 tahun 4 bulan penjara atau pidana denda maksimal Rp 15.000,-
Konstruksi hukum menggunakan delik pidana yang ada di KHUPidana tidak dapat menjerat Pekerja Seksual Komersial (PSK) dan Pemakai. (Catatan: VA dihukum bukan karena sebagai PSK, tapi dijerat dengan UU no 19 tahun 2016 tentang ITE, karena mengupload photo seronok yang memiliki muatan melanggar kesusilaan).
Prostitusi atau pelacuran.
Menurut Sarjono Soekanto, seorang ahli sosiologi , mengatakan bahwa prostitusi atau pelacuran merupakan suatu pekerjaaan yang bersifat menyerahkan diri untuk melakukan perbuatan2 seksual dengan mendapat upah.