Lho kok judulnya begitu? Apa maksudnya? Apa kaitannya dengan perubahan status dari pandemi menjadi endemi?
Ya ini soal rasa sih. Buat saya pandemi kemarin seperti terjebak dalam film perang, yang situasinya adalah musuh menyerbu dan berusaha merebut teritori seluas-luasnya.Â
Mereka ada di mana-mana dan kita harus selalu bersiap untuk bertahan dan menyerang. Keluar rumah pakai masker, jauhi kerumunan, sebelum melakukan apa saja cuci tangan lebih dahulu; karena persepsinya musuhnya ada di semua tempat.
Jadi siapa saja yang ditemui, di mana saja kita berada, di situ ada Virus Covid.
Kalau sekarang sudah berbeda, ketika aplikasi PeduliLindungi saya aktifkan, maka hampir di setiap zona yang sedang atau akan saya singgahi itu status resikonya selalu rendah. Jumlah pembawa Virus Covid di sekitar wilayah itu di bawah 10 orang.
Namun bukan berarti kemudian bahaya sudah pergi, sekarang nuansanya berubah jadi seperti film horror, bahayanya ada mengintai dalam kegelapan. Bersembunyi dan menunggu untuk menyergap saat kita lengah.
Bagi yang tingkat sensitivitas terhadap krisis dan bahayanya tinggi, rasa was-wasnya tetap saja 24 jam dan di mana saja. Mungkin sambil geram ketika melihat ke kiri dan kanan, beberapa orang sudah mulai tidak disiplin lagi memakai masker.Â
Apalagi kalau makan siangnya di jajaran pedagang kaki lima tempat saya biasa mencari makan siang, pasti sudah getem-getem ingin melabrak penjual dan pembeli yang makan di tempat. Dua-duanya sama-sama tidak pakai masker.
Memang seharusnya perubahan status dari pandemi menjadi endemi, tidak boleh membuat kita lengah dalam menjalankan prosedur kesehatan yang selama ini berlaku. Harus tetap disadari bahwa bahayanya itu sendiri belum hilang.
Yang jadi masalah buat saya pribadi dan mungkin buat banyak orang lain adalah "kelemahan" psikologis kita sebagai manusia (apakah itu kelemahan, atau itu kelebihan, mungkin tergantung sudut pandang dan argumen masing-masing). Buat saya pribadi sepertinya ada yang perlahan-lahan "lupa" tentang bahaya Covid. Seperti sudah di-desensitisasi terhadap ancaman yang mengintai di udara dan dari setiap interaksi dengan manusia yang lain.
Di sinilah kemudian muncul bahayanya bisa terjadi gelombang kedua, ketiga dan seterusnya.
Kalau masyarakatnya demikian, bagaimana dengan petugas-petugas PPKM yang selama ini dengan ramah rajin mengingatkan, membagikan masker, dst (atau ada juga dengan cara yang lebih keras)?
Sepertinya kok ya sudah sama-sama mulai "terlena".
Kalau memang bukan cuma saya yang seperti itu, yuk mulai saling mengingatkan dan yang diingatkan jangan marah ya. Toh ini untuk kepentingan kita bersama. Aktivitas boleh kembali jadi normal, tapi masker jangan lupa dipakai, hindari kerumunan, dan jangan malas mencuci tangan.
Aplikasi PeduliLindungi mungkin masih banyak kekurangannya, tapi tidak apa-apa, sebagai rakyat kita dukung pemerintah dengan mematuhi kewajiban kita untuk menggunakan aplikasi tersebut.
Semoga dengan berbagai persiapan yang dilakukan pemerintah dan ketaatan kita sebagai rakyat, kita bisa terhindar dari gelombang kedua Covid.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H