"Aquino adalah lawan politik Marcos, dia memfitnah Marcos untuk membalas dendam atas kematian suaminya," jawab teman saya itu dengan penuh keyakinan.
Pening kepala saya mendengar jawaban-jawaban itu.Â
Seperti terjadi gegar informasi dalam kepala saya. Sebuah kontradiksi antara ingatan saya tentang Ferdinand Marcos yang saya tonton bersama orang tua saya di berita TVRI jaman dahulu.
Dengan cerita tentang keluarga Marcos dari teman saya yang lahir beberapa tahun setelah lengsernya Marcos.
Tadinya dugaan saya Pacquiao yang sangat populer di sana akan menjadi pilihan teman saya ini, ternyata dari cara dia bercerita, hatinya justru condong pada : Ferdinand "Bongbong" Romualdez Marcos Jr, anak mendiang Ferdinand Marcos yang lengser secara paksa, dan sempat lari dari negaranya.
Bisakah kita membayangkan?Â
Seseorang yang sempat diturunkan secara "paksa" oleh rakyatnya akibat korupsi, tindakan-tindakan yang melanggar HAM, dst; dalam hitungan beberapa dekade, bahkan ketika generasi yang saat itu pernah ikut berdemo menurunkan orang tersebut masih hidup, berhasil mengubah citra yang hitam dan merah berlumuran darah, menjadi citra yang seakan bersih dan kesalahan-kesalahannya (kalau tidak mau dikatakan kejahatan) sebagai sesuatu yang bisa dimaklumi.
Seakan-akan gerakan revolusi EDSA yang sampai dibuat monumen-nya di Manila itu sebuah kesalahan, atau sebuah glitches saja dalam sejarah negara mereka.
Saya tidak ingin menyinggung perasaan teman saya itu dan memilih menggeser topik pembicaraan ke hal-hal yang lebih ringan, daripada melanjutkan percakapan tentang Ferdinand Marcos.
Meski demikian, cerita teman saya itu diam-diam masih membayang terus dalam benak saya.
Sejarah reformasi 1998 di Indonesia, bisa juga ditarik garis paralelnya dengan revolusi EDSA-nya Filipina.Â