Beberapa waktu terakhir tentu banyak dari kita yang mendengar berita yang memprihatinkan tentang salah satu atlet kebanggaan kita, Verawati Fajrin. Beruntung Pak Jokowi bertindak cukup cepat untuk membantu. Kisahnya mungkin adalah satu dari banyak kisah lain tentang atlet-atlet tua di negeri ini. Ada Ellyas Pical, Denny Thio, Abdul Razak, dan masih ada nama-nama lainnya dari berbagai bidang olahraga.
Namun sebenarnya kisah atlet yang pernah berjaya di masanya dan kemudian mengalami kesulitan di usia pensiun, bukan hanya monopoli Indonesia.
Tidak sedikit atlet-atlet luar negeri, bahkan dari negara-negara maju, yang mengalami kesulitan dalam hidupnya setelah menjalani masa pensiun. Beberapa dari mereka, bahkan adalah atlet-atlet profesional yang sudah mendulang milliaran bahkan trilyunan rupiah dari karier mereka.
Mungkin tidak bisa dibandingkan, tapi rasanya bisa dicari benang merahnya. Minimal bagi orang tua yang saat ini punya anak yang bercita-cita untuk menjalani karier di bidang olahraga, apa yang berusaha saya ulak-ulik ini, bisa menjadi bahan pemikiran.
Menurut saya ada beberapa hal yang perlu diingat ketika seseorang ingin terjun ke dunia olahraga dan menjadikan itu karier utama dia.
Pertama masalah rentang usia.
Hampir di semua jenis cabang olahraga, tidak ada atlet yang bisa berprestasi, tanpa menginvestasikan waktu, pikiran dan segenap kehidupannya untuk berlatih sejak usia yang masih sangat muda. Umumnya semakin populer cabang olahraga tersebut, semakin cerah masa depannya, akan tetapi juga semakin ketat kompetisinya.
Artinya, seseorang yang ingin berkarier di bidang olahraga, mau tidak mau, waktu dan perhatiannya akan terserap untuk melatih skill yang diperlukan di bidang itu, sehingga tersisa sedikit waktu dan pikiran untuk hal-hal lain di luar cabang olahraga yang dia tekuni. Sementara skill-skill tersebut, belum tentu bisa dengan mudah ditransformasikan menjadi skill yang bisa digunakan di luar dunia olahraga.
Di lain pihak, tidak seperti karier lain pada umumnya, mereka yang berkarier di bidang olahraga memiliki kesempatan berkarier yang paling sempit dari segi waktu. Kondisi tubuh seorang manusia akan mulai mengalami penurunan ketika mereka masuk usia 30an, sementara ada banyak pesaing baru yang lebih muda yang sedang berada pada puncak kondisi tubuhnya. Meski pengalaman bisa menutupi kekurangan di sisi fisik, tetap saja pada akhirnya seorang atlet harus mendengarkan sabda alam. Relatif sedikit atlet-atlet yang masih mampu berkompetisi di dunia profesional di atas usia 40an. Bandingkan dengan usia pensiun karyawan biasa yang berada di kisaran 50-an. Atau artis dan penyanyi yang bisa aktif di bidang pilihannya sampai akhir usia.
Umumnya salah satu pilihan yang diambil oleh atlet yang telah pensiun adalah menjadi seorang pelatih. Namun perlu dipikirkan pula, satu orang pelatih tentunya melatih belasan atau puluhan atlet muda. Misalnya seorang atlet sepak bola, dalam satu tim setidaknya ada dua puluh sampai tiga puluh atlet sepak bola. Ada berapa pelatihnya? Satu pelatih utama dan beberapa asisten pelatih. Artinya porsi lapangan pekerjaan sebagai pelatih, itu tidak sebanyak lapangan pekerjaan sebagai seorang atlet.
Jadi ini adalah salah satu masalah yang harus dihadapi seorang atlet, yaitu mau jadi apa setelah pensiun nanti. Sementara skill dan pengalaman yang mereka dapatkan selama mereka aktif, tidak dengan mudah diterjemahkan menjadi skill dan pengalaman untuk pekerjaan di bidang lain.
Mungkin kita melihat ada beberapa cabang olahraga yang memberikan penghasilan cukup besar bagi atletnya. Tentunya semasa aktif, seharusnya mereka bisa menabung lebih dari cukup untuk masa pensiun nanti. Apa meningkatkan kesejahteraan atlet-atlet aktif bisa menjadi solusi bagi masa pensiun mereka?
Kalau mengulik cerita di luar negeri, ketika seorang atlet yang berprestasi bisa mendapatkan milyaran uang dari kariernya, itu pun tidak menjamin masa depannya setelah pensiun menjadi aman.
Bahkan tidak jarang hal itu menimbulkan masalah tersendiri, ketika gaya hidup yang sudah terbiasa dengan penghasilan besar, tiba-tiba kehilangan sumber penghasilan. Gaya hidup masih mengikuti masa ketika masih aktif, sementara pemasukan mereka menurun karena skill yang mereka asah selama ini, tidak bisa digunakan di luar dunia mereka sebelumnya.
Jadi kalau kita berpikir bisa memberikan perbaikan kehidupan atlet-atlet di negara kita, hanya lewat meningkatkan kesejahteraan mereka saat mereka masih aktif. Kita harus berpikir ulang karena kenyataannya ada banyak cerita yang menunjukkan hal itu belum tentu menjamin masa pensiun seorang atlet.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah masalah fisik. Berkompetisi di tingkat yang tinggi dengan tuntutan intensitas gerak dan tenaga yang extra tinggi, cedera selalu membayangi seorang atlet semasa dia aktif.
Beberapa jenis olahraga bahkan memiliki resiko cedera yang lebih besar dibanding jenis olahraga lain. Dengan semakin majunya dunia kedokteran, memang semakin banyak pilihan bagi seorang atlet yang mengalami cedera. Â Namun resiko ini tidak pernah bisa hilang 100%.
Tidak jarang ketika seorang atlet memasuki masa pensiunnya, cedera semasa dia aktif akan menjadi momok atau hantu yang tidak mau lepas sepanjang sisa hidupnya. Bagi penggemar tinju, tentu bisa terbayang kondisi Muhammad Ali setelah dia pensiun dari dunia tinju.
Bukan berarti karier menjadi atlet profesional adalah karier yang buruk, karena di sisi lain juga ada atlet-atlet yang berhasil memasuki dan melewati masa pensiun mereka dengan baik. Seorang Sugar Ray Leonard misalnya, masih bisa tampil fit dan menawan, bahkan di usia lanjut, jauh setelah dia sudah pensiun.
Yang paling penting bagi mereka yang ingin terjun di dunia ini adalah menyadari karakteristik dari berkarier di bidang ini. Hanya mereka yang berkompetisi di tingkat yang tinggi yang mampun meraih hasil yang memuaskan. Di lain pihak untuk mencapai dan mempertahankan kemampuan mereka berkompetisi di tingkat tinggi ini, sangat menuntut konsentrasi waktu, pikiran dan tenaga, bahkan sejak dari usia yang masih sangat dini.
Bagi orangtua dari anak-anak dan remaja yang punya cita-cita untuk berkarier di bidang olahraga, tentu saja jangan kemudian kita mematikan cita-cita mereka. Akan tetapi sebagai orang tua, perlu juga kita memberi pengarahan pada mereka tentang dunia yang akan mereka terjuni ini.Â
Harus ada pemahaman bahwa di antara waktu luang mereka di luar berlatih untuk olahraga yang mereka tekuni, mereka masih perlu menambah skill-skill lain yang akan bisa membantu mereka memasuki masa pensiun dengan aman.
Sesuatu yang mungkin akan sangat sulit dibayangkan oleh mereka yang masih berusia muda masih penuh dengan semangat untuk meraih cita-cita atau mereka yang sedang berada di puncak kariernya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI