Sebagai bagian dari kelompok minoritas di negara ini, sebuah kebohongan kalau saya tidak pernah mempertanyakan kecintaan saya pada negeri tempat saya lahir dan dibesarkan ini. Tentu saja tidak fair jika saya mengatakan bahwa kelompok minoritas diperlakukan dengan buruk di negara ini, akan tetapi terlalu naif juga jika ada yang mengatakan isu SARA sudah selesai di negara ini.
Perlakuan diskriminatif itu ada, dan mungkin sejarah luka lama yang diwariskan dari generasi ke generasi dalam bentuk cerita dan ketakutan tak logis, membuat sulit bagi sebagian kelompok minoritas untuk bersikap adil. Bersikap adil bahwa sebenarnya diskriminasi yang mereka alami pada umumnya masih dalam batas yang wajar dan bisa dimaklumi. Bahwa sikap terbuka dan menerima dari kelompok yang mayoritas, itu sebenarnya jauh lebih banyak porsinya daripada sikap yang diskriminatif.
Kata orang, "Sing ngono ki sakjane sithik, cuman suarane banter."
(Yang begitu itu sebenarnya sedikit, suaranya saja yang keras.)
Lalu mengapa saya bicara tentang hal ini, ketika membahas tentang upacara bendera dan pembacaan pembukaan UUD 1945? Karena momen inilah yang menjawab pertanyaan saya tentang nasionalisme saya. Momen ketika pembukaan UUD 1945 dibacakan dalam sebuah seremoni yang hikmat.
Upacara bendera adalah kegiatan yang rutin dilaksanakan semasa sekolah dan sekarang setelah dewasa saya temui setahun sekali di TV, saat stasiun TV menayangkan upacara bendera di Istana Merdeka. Even ini penting bagi saya sebagai bagian dari bangsa ini, karena ada sebuah momen yang selalu mendebarkan hati saat saya mengikutinya. Momen ketika pembukaan UUD 1945 dibacakan.
Ketika kalimat ini dibacakan:Â
"Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya."
Maka secercah cahaya seperti menerobos masuk, menyeruak dan menyingkirkan kabut dan awan gelap yang terkadang menutupi benak saya dan mengaburkan rasa nasionalisme yang ada di hati ini. Kegalauan yang terkadang merasa menjadi tamu di negeri sendiri.
"Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa..."
"Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas..."
Camkan itu.
Rakyat Indonesia bersatu untuk memperjuangkan kemerdekaannya bukan karena kesamaan warna kulit, bukan karena berasal dari ras yang sama, atau berasal dari agama yang sama. Rakyat Indonesia bersatu memperjuangkan kemerdekaannya, karena disatukan oleh satu cita-cita yang luhur.
Setelah mengalami sistem pemerintahan penjajahan Belanda yang menggunakan taktik divide et empera, dengan membagi masyarakat menjadi kelompok-kelompok dan perlakuan yang diskriminatif, dengan membenturkan suku dan agama. Rakyat Indonesia berproses dan menemukan sebuah cita-cita yang luhur dan mulia, yang menyatukan mereka semua. Yaitu sebuah bangsa yang didasarkan oleh Ketuhanan dan kemanusiaan. Sebuah bangsa yang menempatkan peri kemanusiaan dan peri keadilan sebagai asas-asas dalam menjalankan kehidupannya.
Di Indonesia, seharusnya tidak ada pertanyaan tentang nenek moyangmu berasal dari mana? Atau agamamu apa? Pertanyaan terpenting yang ada, adalah, nilai dan idealisme apa yang ingin kamu wujudkan dalam hidupmu?
Kesatuan pandangan akan cita-cita, nilai dan idealisme inilah yang menyatukan kita menjadi satu bangsa.
Sebuah bangsa yang religius, berperi kemanusiaan dan berperi keadilan.