Bucin? Bodoh? Unrealistic and naive (sok-sokan pakai Bahasa Inggris dikit ga apa-apa kan ya).
Wajar sih kalau muncul penilaian seperti itu dan dibilang bodoh ya bodoh, dibilang bucin ya bucin. Apalagi kalau kata nasehat orang tua, "Dunia itu tak selebar daun kelor."
Tapi di sisi lain, bukankah itu yang kita bayangkan tentang "cinta"?
Sebuah emosi dan kekuatan yang tak lekang oleh waktu. Dia rela berkorban dan rela menunggu. Tak terkikis, meski tak berbalas.
Di sini saya pikir kita bisa melihat, bagaimana manusia memiliki kemampuan untuk melampaui kemanusiaannya. Sesuatu yang bisa menjadi sangat banal dan rendah, ketika ego dan nafsu bicara, sehingga cinta segitiga = perselingkuhan. Bisa bertransformasi menjadi sesuatu yang inspiratif dan mengagumkan, ketika mereka yang terjerat di dalamnya memilih untuk bersikap melampaui dorongan ego dan keinginan manusiawi.
Cobalah jujur, bukankah cinta segitiga yang diangkat martabatnya oleh pilihan sulit seorang insan manusia itu memiliki daya tariknya sendiri? Buktinya lagu-lagu Bebi Romeo untuk Meisya bisa bikin banyak pendengarnya klepar-kleper kan?
Jangan juga katakan itu tidak mungkin, karena kalau kita mau membuka mata, nyatanya ada kok cerita-cerita nyata, kisah romantis tentang cinta segitiga yang memilih jalan yang berat itu. Tidak melepaskan cinta tapi juga tidak melanggar norma.
Sebuah pilihan yang mungkin hadir di belakang bak truk-truk di jalanan dalam bentuk sebuah kalimat yang membuat kita tertawa, "Kutunggu jandamu."
Sebuah ungkapan atas cinta yang tak lekang oleh waktu dan mau menunggu.
Namun saran saya sendiri sih, kalau terjebak dengan cinta segitiga, lebih baik mundur. Sebab saya sendiri lebih suka manut kata orang tua, "Dunia itu nggak selebar daun kelor."
Sebuah pilihan yang hadir karena menyadari kelemahan saya sendiri, yang tak tahan perihnya cinta, kalau cuma bisa mencintai tanpa bisa memiliki.