(Ilustrasi diambil dr : https://unsplash.com/photos/NrlHjNUqqgM)
Sudah lama saya tidak berjalan kaki menyusuri jalan raya. Dahulu sejak dari masih sekolah di tingkat Sekolah Dasar, sampai kira-kira enam tahun saya bekerja, jalan kaki adalah salah satu moda transportasi yang saya pakai untuk bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Setelah enam tahun bekerja, akhirnya saya membeli sebuah motor dan sejak itu motor menggantikan kaki saya, untuk mengantar saya ke mana-mana.
Tentu saja lebih nikmat dan mudah untuk berpergian menggunakan motor, dibandingkan harus berjalan kaki lalu berdesak-desakan di angkot.
Akan tetapi seperti beberapa minggu yang lalu, saat pikiran saya kisruh, atau terasa ada beban yang mengganjal hati, kerinduan untuk berjalan kaki menyusuri jalan raya itu diam-diam suka muncul dan meski mengundang orang untuk mengangkat alis dan mengerutkan dahi, suka-suka tanpa peduli saya pergi bekerja dengan berjalan kaki. Berpakaian rapi layaknya pekerja kantoran, lalu berjalan kaki menyusuri jalan raya.
Ada tantangan tersendiri untuk terus berjalan sampai ke tempat tujuan dan melawan sebagian dari hati yang ingin menyerah pada rasa lelah dan panasnya udara.
Suatu kepuasan ketika akhirnya mencapai tujuan, sepenuhnya hanya dengan berjalan kaki. Rasa pegal dan nyeri pada persendian, jadi semacam medali kehormatan yang cuma bisa saya lihat sendiri, tanpa bisa dibagikan pada orang lain.
Jadi apa yang membuat saya berjalan kaki kembali beberapa waktu yang lalu?
Tidak lain dan tidak bukan ya pandemi covid yang kita hadapi saat ini. Galau merasakan penanganan pemerintah atas pandemi yang sepertinya belum menemukan formula yang tepat. Galau melihat perseteruan yang muncul di medsos. Galau terhadap prospek ekonomi ke depannya setelah pandemi ini berakhir. Sedih bahwasannya ketika negara dalam keadaan kritis seperti saat inipun, kita masih terkotak-kotak oleh pilihan politik dan isu SARA. Kuatir akan anggota keluarga terdekat dan tanggung jawab sebagai kepala keluarga.
Berjalan kaki seakan mengembalikan saya pada masa lalu, melepaskan diri saya dari semua apa yang sudah saya raih saat ini, raihan yang tak jarang justru menjadi beban di pundak. Ketika semakin banyak yang dimiliki, semakin besar pula rasa takut untuk kehilangan apa yang sudah dimiliki.
Sebagai pejalan kaki di jalan raya, saya juga menduduki kasta terendah di antara pengguna jalan raya lainnya. Berbeda dengan pesepeda atau pelari yang biasanya dihiasi pernak-pernik seorang olahragawan, tidak ada yang semacam itu pada pejalan kaki. Sebagai pengguna jalan, pejalan kaki harus mau menunggu pengguna jalan lainnya memberikan kesempatan kalau ingin menyeberang, atau kebetulan trotoar yang tersedia tiba-tiba mengecil dan tidak menyisakan ruang bagi si pejalan kaki.