Aku tidak suka Mandasuli_
ia menjelma jadi simbol kata-kata liar dari pemikiran tak berakal.
Lebih dari semua itu, aku malah jatuh cinta pd kebebasan yg di tawarkan Mandasuli untuk gaungkan ronta pemberontakan yg tak berhenti di satu sisi.
Manis namun sadis, adalah kesan yg d tampilkan oleh Mandasuli. Menunjukkan bahwa yg d anggap baik juga bisa membunuh.
Puji dan puja bagi Mandasuli nyaris berbanding tipis dengan caci dn maki. Sebagus-bagusnya pujian adalah kejujuran yang menjijikan. Sebejat-bejatnya pemikiran adalah pemerkosaan yang di halalkan.
Aku melihat kobar api sarkasme yang semakin membesar ketika genderang perang itu berdendang.
Mandasuli makin lantang menolak Hegemony Harmonisasi dari otoriter partitur lagu dalam Tirani rangkai nada.
Ah, sialan memang. Kini mereka kumpulkan para badjingan dari kedai si Gembang, yg memuja nada sumbang sebagai bentuk perlawanan mereka terhadap kemerduan yg di patenkan negara sbgai standar kelayakan hidup.
Katakan saja, Mereka terlalu lantang di tengah ketidak adilan yang kian membentang, bak kutang  di sepanjang tali jemuran.
Siapa yang berani berkawan dengan mereka, bak meraba isi kolor dari prajurit kesakitan. Hormat pada dewan kemuliaan. Lapor kami bangsat dari pemerintah kami sendiri. Salam damai bagi tuan dan nyonya yang membuat peraturan. Kami belajar bahwa Semakin kacau aturannya, semakin teratur kacaunya. Lama-lama, aku tahu darimana mandasuli mendapatkan kekacauannya. Dari lidah vokalisnya yang meracau, dari tatapan mata gitarisnya yang tak terpantau//
Penulis: Yukeu.L.Marlinda ( Mandasuli )
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H