Pada masa Rezim Muhammad Ali Pasha tepatnya tahun 1849 M atau 1266 telah lahir seorang putra (Muhamad Abduh) dari keluarga yang sederhana, yaitu pasangan antara Abdul Hasan Khairullah dari daerah Mahallaf Nasr dan Perempuan yang berasal dari keturunan Utsman dari daerah Hashaq  yaitu dari keturunan 'Adi dari bangsa Arab.[1] Dibalik kesederhanaan itu, ibunya memiliki sifat yang pengasih dan penyantun bagi fakir miskin. Disamping itu ayahnya dikenal memiliki Akhlaq yang baik dan mulia serta memililki martabat yang baik diantara masyarakat di daerah tersebut.[2]Â
Â
      Perjalanan pendidikannya dimulai dari dari membaca dan menulis di rumahnya. Dalam usia yang masih tergolong dini ia memulai untuk menghafal al-Qur'an dibawah bimbingan guru yang memiliki hafalan yang baik dan dalam waktu dua tahun ia telah menyelesaikan hafalanya.[3] Pada tahun 1279 H/1863 ia pergi ke Masjid Al-Hamidi di Thantha untuk memperbaiki hafalan dan bacaan al-qur'annya aar sesuai dengan tajwid yang benar. Setelah itu ia memutuskan untuk mengikuti pembelajaran yang terdaat didalam Masjid tersebut. Dari Thanta M. Abduh melanjutkan studi di Al-Azhar Caira dari tahun 1869-1877. Dari perguruan ini ia memiliki kenalan banyak dari para masyayikh  dan belajar darinya berbagai bidang ilmu.[4] Syaikh Hasan al-Thawil mengajarkan kitab-kitab filsafat dari ibnu sina, serta logika dari aristoteles. Dalam bidang sastra muhammad abduh memiliki kehalusan dan kemampuan praktik yang baik dari muhammad al-Basyumi. [5]
Â
      Tahun 1871 M Jamal al-Din al-Afghani datang ke Mesir. Ia disambut dengan baik orleh Muhammad Abduh dengan menghadiri halqah ilmiyah yang di berikan olehnya. Al-Aghani mengubah pemikiran Abduh dari tasawwuf dalam arti sederhana seperti dzikir, ibadah dan berpakaian kepada tasawwuf dalam arti luas; yaitu perjuangan untuk dapat maju dalam membela agama islam.[6]Â
Â
      Setelah 2 tahun bersama ail-Afghani terjadilah perubahan yang besar dalam kepribadiannya dan ia mulai untuk menulis kitab pertamanya yaitu; Risalah Al-'Aridat 1873, di susul Hasyiah-Syarah al-Jall al-Dawwni li al-Aq'id al-Adhudhiyah 1875, kedua buku ini memiliki pembahasan yang mendalam dalam ilmu filsafat, ilmu kalam dan tasawwuf. Disamping kemampuannya menulis buku ia juga menulis surat kabar Al-Arham, Kairo. Dengan media ini muhammad Abduh dikenal oleh para pengajar di Al-Azhar dan mendapat berbagai tanggapan positif serta negatif darinya. Beruntung berkat keluwesan pembahasannya dan dukungan dari Syaikh Muhammad al-Mahdi al-'Abbasi ia dinyatakan lulus dengan predikat 'Alim.[7]Â
Â
      Setelah lulus ia mengajar di Al-Azhar dalam bidang Ilmu Kalam dan Mantiq, dan mengajar kitab Tahdzib al-Akhlaq di rumahnya. Muhammad abduh si kukuhkan sebagai pengajar sejarah oleh pemerintah mesir pada tahun 1878 di sekkolah Dar al-'Ulum.[8] Setelah satu tahun berlangsung ia diberhentikan untuk mengajar pada semua sekolah tersebut dan di pulangkan ke Mahallat Nasr daerah kelahirannya atas tuduhan masuk dalam gerakan khadhowi Taufik.[9] Namun dengan adanya perubbahan Kabinet di Mesir pada 1880 ia diangkat untuk menjadi Redaktur Al-Waqiah Al-Misriyah surat kabar resmi milik pemerintah. Hal ini membuat ia dan semua civitas yang terlibat didalamnya untuk memberikan kritik serta tanggapan bagi pemerintah terhadap segala perbuatan yang menyeleweng dan kesewenang-wenangan.[10]
Â
      Muhammad  merupakan Mujaddid dalam agama islam. Ia berusaha melakukan pembaharuan dengan mengkaji  kembali kekayaan pemikiran agama islam. Semuanya ia cermati dengan baik dan kritis agar agama islam mampu mengaktualisikan perkembangan dunia yang selalu berubah-ubah.[11] Berbeda dengan jamaluddin al-Afghani yang berpengaruh dalam bidang politik, sang murid Muhammad Abduh lebih berpengaruh dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan.[12] Menurutnya pembaharuan dalam bidang pendidikan merupakan hal yang sangat  esensial bagi kemajuan suatu bangsa. Ia mengamati bahwa pendidikan belum mampu menghasilkan manusia yang di inginkan. Hal ini dapat dilihat bahwa pendidikan pada waktu itu mengalami fase dualisme. Madrasah yang bertumpu ke barat lebih mementingkan pendidikannya bidang intelektual. Sedangkan sekolah yang berkiblat ke timur tidak memikirkan hal itu, akan tetapi terfokuskan pada aspek spiritual. Menurutnya madrasah harus memiliki tujuan untuk mendidik jiwa dan akal peserta didik serta mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.[13] Artinya tidak hanya mementingkan sisi intelektual lantas tidak memikirkan aspek spiritualitas atau sebaliknya. Melainkan harus memadukan antara keduanya hingga mencapai dua kebahagiaan.Â