Punya elektabilitas tinggi tak lantas membuat sosok Ganjar Pranowo mendapat karpet merah dari partainya sendiri. Ia justru dihadapkan pada ketidakpastian menapaki karir politik selanjutnya.
Ganjar mestinya paham betul, konsekuensi bernaung pada instrumen partai politik "semi kerajaan". Orang boleh saja menyanggah anggapan tadi, namun kenyataan bersuara demikian. Ganjar memang ibarat berteduh pada rumah yang salah.
Kemoderatan sosok Ganjar, progresivitasnya, hingga kesediaannya "turun kelas" mendekat pada millenial, membuat kecemerlangan sosoknya tampak kontras dibanding ekosistem berpolitiknya.
Seberapa tebal pun PDI Perjuangan menyematkan kata "demokrasi" sebagai akronim penamaannya, masyarakat akan tetap skeptis pada pola sirkulasi elit di tubuh partai tersebut.
Sudah bukan rahasia bahwa pipanisasi kader-kader potensial di partai itu, sering terhambat oleh kewenangan absolut sang ketua umum. Barangkali Ganjar akan menjadi "korban" berikutnya.
Tentu arah politik bisa kapan saja berubah, tak ada yang benar-benar pasti ketika elit masih sibuk lobi sana-sini.
Masih lekat dalam ingatan kita, momen ketika Megawati Soekarnoputri akhirnya mau "berlapang dada" memberi jalan kepada Joko Widodo untuk maju pada Pilpres 2014 lalu.
Momentum itu bisa saja berulang pada Ganjar, mengingat popularitas sosok Puan Maharani yang digadang-gadang akan diberi tiket VVIP oleh partai, nyatanya masih sebatas unggul pada jumlah baliho serta meme di media sosial.
Melirik kans merapat ke partai lain, agaknya bisa menjadi opsi alternatif bagi Ganjar bilamana gayung tak bersambut di rumah sendiri. Terlebih koalisi Golkar, PPP & PKB sampai saat ini masih belum menemukan sosok yang akan mereka usung.
Elektabilitas Ganjar secara matematis, berpotensi mengerek suara bagi ketiga parpol tadi. Sementara di waktu yang bersamaan, ketiganya bisa menjadi sekoci yang nyaman bagi Ganjar dalam menuju karir politik yang lebih tinggi.