Jejaring transportasi umum di kota Jakarta merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Integrasi antar moda yang saling melengkapi, menjadi keunggulan yang belum bisa disamai oleh kota-kota lain.
Hanya saja Jakarta masih menyisakan persoalan warisan masa lalu, yakni angkutan penumpang roda tiga.
Selain memiliki rute yang tak jelas, angkutan jenis ini juga membawa banyak persoalan lain di dalamnya.
Saya menghindari penyebutan istilah "Bajaj", sebagaimana lazim digunakan oleh masyarakat. Sebab Bajaj sendiri merupakan merk dagang otomotif modern, yang tak lagi pas jika hanya diasosiasikan dengan kendaraan roda tiga.
Di Jakarta angkutan jenis ini masih sering dijumpai berlalu-lalang, sekalipun pamornya sudah kalah jauh dengan berbagai moda lain seperti angkutan umum JakLingko, hingga taksi daring.
Ketidak jelasan rute operasi, menjadikan angkutan ini bisa bergerak bebas tak terikat pada trayek. Meski begitu, adanya aturan yang melarang angkutan ini melintas ke ruas-ruas jalan tertentu, menjadikan mobilitasnya tak bisa seenaknya.
Sayangnya, sebagian besar pengemudi justru kerap melakukan kucing-kucingan dengan petugas, terutama saat memaksa masuk melintasi jalan-jalan yang memang tak diperbolehkan. Alasannya, mereka tak bisa menolak kemauan penumpang.
Sikap indisipliner tadi diperparah juga dengan perilaku berkendara pengemudi yang tak aman, melanggar lalu lintas, sampai ngetem di lokasi-lokasi ramai seenaknya.
Di kawasan Stasiun Manggarai misalnya, keberadaan angkutan roda tiga yang ngetem ini sangat mengganggu pengguna jalan lain di sekitar lokasi. Ruas jalan yang semestinya bisa dilalui dua jejer kendaraan, terpaksa hanya bisa dilalui separuhnya saja.
Hal ini belum ditambah masalah lain di sekitar lokasi seperti keberadaan preman, sampah, hingga asap rokok. Di beberapa titik bahkan tercium bau pesing dari pengemudi yang buang air kecil sembarangan.