Cara berpikir yang keliru, membuat kita berlaku sama kelirunya. Dorongan untuk terlihat keren secara komunal, namun tak dibarengi dengan keren secara intelektual, jelas membuat kita tak ubahnya seperti makhluk primitif yang dijubahi pakaian modern.
Perilaku keliru berjamaah, membuat sebuah ekosistem komunal menjadi beracun dan sangat sakit. Parahnya, ia tak cuma berbahaya bagi orang-orang di dalamnya, tetapi juga menulari orang-orang di luar komunitasnya.
Ciri yang paling mudah dikenali dari kelompok yang sakit ini, adalah ketiadaan kemampuan untuk melakukan otokritik bagi kelompoknya sendiri.
Sikap agresif dan konfrontatif terhadap kelompok lain, menjadikan lingkaran setan kebencian sulit sekali diputus. Padahal jika bertanya jauh ke dalam hati, masing-masing dari kita hanyalah ingin menonton olahraga yang sama, bergembira bersama. Sesederhana itu.
Tentu mengadopsi kultur dari luar, bukanlah sesuatu yang haram. Akan tetapi menempatkannya sebagai kiblat, tanpa pernah kita kalibrasi ulang kesesuaiannya dengan nilai-nilai yang kita miliki, bukankah kelak ini akan menjadi katastrofi?
Sudah terlalu banyak tragedi kemanusiaan yang meletup atas nama sepak bola. Sudah terlalu banyak pula nama, yang sekarang cuma menjadi tinggal nama.
Kita berharap peristiwa di Kanjuruhan menjadi tutup buku bagi mereka yang telah berpulang. Setelahnya, mari kita bercermin satu sama lain.
Alih-alih menyalahkan pihak lain, barangkali kita semua adalah pihak yang paling bertanggung jawab, atas keterpurukan sepak bola yang kita pupuk dari kultur yang salah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H