Mendapat undangan untuk sebuah laga persahabatan, tak dipungkiri adalah suatu kehormatan. Tidak semua klub sepak bola memiliki keistimewaan itu.
Setidaknya, klub harus memiliki relasi dan citra yang baik di mata penggemar lintas klub, media, serta tentu saja pengusaha.
Tak mungkin sebuah klub yang memiliki citra buruk di atas lapangan, dinantikan partisipasinya dalam sebuah eksebisi semacam itu.
Berbeda dengan laga resmi pada kompetisi reguler, laga persahabatan tidaklah mementingkan menang dan kalah. Skor memang tetap dihitung, namun tak menjadi tolak ukur siapa lebih unggul terhadap siapa.
Peserta yang terlibat biasanya memanfaatkan laga ini untuk menjaga kebugaran fisik, bersenang-senang, sekaligus memberi hiburan kepada fans.
Sementara di negara-negara yang kompetisi sepak bolanya sudah mapan, laga persahabatan sering dijadikan ajang untuk uji coba taktik dan pemain baru, bahkan tak jarang dimanfaatkan sebagai instrumen memperluas pasar ke wilayah-wilayah baru yang belum terjamah.
Menang ataupun menjadi juara di sebuah laga persahabatan, sudah bukan lagi jadi tujuan utama. Medali atau piala di laga persahabatan tak ubahnya sertifikat webinar, cuma sekadar dijadikan oleh-oleh penanda keikutsertaan. Maka sudah sepatutnya laga persahabatan itu dimainkan dengan cara-cara yang "bersahabat", fun, bukan malah diseriusi.
Terlebih bila laga persahabatan juga mengundang legenda sepak bola dari luar negeri sebagai bintang tamu. Semestinya, para partisipan laga bisa "kompak" untuk memberi hiburan kepada penonton. Bukan malah mencari panggung untuk diri sendiri.
Sangat disayangkan jika laga persahabatan yang sudah dirancang semenyenangkan mungkin, justru jauh dari kata bersahabat dan menyenangkan tadi.
Padahal setinggi apapun adrenalin yang meletup-letup di urat nadi pemain, semestinya bisa dikonversi untuk menyuguhkan hiburan yang menenangkan tensi rivalitas.
Jika syarat tadi terpenuhi, tentu bukan hanya para pelakon yang bisa tertawa bersama di atas lapangan, penonton pun juga pasti bergembira di atas tribun. Atmosfer semacam inilah yang jika terbawa hingga kompetisi resmi, melahirkan kesadaran bahwa persaudaraan selalu berpijak lebih tinggi di atas rivalitas.
Jika dipresentasikan dengan baik dan benar, melalui laga persahabatan lah kita bisa melihat tim yang mencetak gol dan tim yang kebobolan, bisa saling tertawa gembira secara bersamaan.
Di sudut lain, kita juga bisa menyaksikan para pemain "pamer skill" tanpa khawatir diinterupsi oleh pemain lawan. Sebab kedua belah pihak telah sama-sama mengerti untuk saling memberi kesempatan.
Tak berhenti di situ, jika spirit persahabatan dipegang teguh oleh para pemain, tentu bermain kasar menjadi sebuah kesungkanan.
Sekalipun terjadi pelanggaran nantinya, itu semata dilakukan akibat ketidaksengajaan. Baik yang melanggar maupun yang dilanggar, biasanya saling menertawai, kemudian berpelukan.
Bagaimana pun bentuknya, kehangatan di atas lapangan selalu tak pernah gagal mencairkan kebekuan di atas tribun. Sentimen-sentimen gaduh kebencian, akan selalu luluh oleh riuh tawa dan tepuk tangan penonton, yang rindu bergandengan dengan perbedaan.
Kesan baik ini jika berhasil dibawa pulang, akan memunculkan gelombang keceriaan baru yang paralel dari rumah ke rumah. Sehingga untuk menikmati sepak bola, orang sudah tak punya waktu lagi bergelut dengan fanatisme satu sama lain.
Begitulah hakikatnya sebuah laga persahabatan; mempererat tali persahabatan. Bukan malah sebaliknya.
Bertanding ngotot dan serius memang telah menjadi tuntutan setiap pesepak bola profesional, kita semua memahami itu. Namun bukan di sini tempatnya.
Bertanding seriuslah di laga-laga resmi, "adu kungfu" dan "berdarah-darah"-lah pada kompetisi yang sesungguhnya. Bukan habis-habisan di laga persahabatan.
Jika ada kritik dari masyarakat pada klub tertentu, yang keliru menerjemahkan sebuah laga persahabatan menjadi kelewat serius, bahkan cenderung keras. Maka cukup disikapi dengan kedewasaan.
Menerima kritik sebagai sebuah masukan, jauh lebih bermanfaat ketimbang bersikap arogan dan membela diri, terlebih malah menyerang balik, bahkan sampai hendak mengembalikan piala ke panitia. Ini jelas bentuk sikap tak terpuji, bahkan tak menunjukkan rasa hormat sama sekali kepada panitia yang telah berbaik hati mengundang.
Padahal kritik sebenarnya adalah juga bentuk persahabatan. Tidak ada seorang sahabat yang tak ingin sahabatnya menjadi lebih baik dari sebelumnya. Menutup pintu kritik, sama saja menutup pintu persahabatan.
Persahabatan itu membekas, sebagaimana halnya perilaku-perilaku tak bersahabat. Keduanya meninggalkan jejak yang sama tebalnya.
Jika sudah begitu, maka jangan kaget jika suatu saat ada klub sepak bola yang tak pernah lagi diundang ke laga persahabatan, karena jejak "tak bersahabat"-nya di masa lalu.
Sekecil apapun skalanya, bahkan pada level "tarkam" sekalipun, klub yang memiliki jejak "tak bersahabat" akan senantiasa sengaja dilewatkan, dipinggirkan, atau bahkan tak dianggap sama sekali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H