Ketika demokrasi muncul sebagai orkestrasi yang memikat banyak orang, satu per satu model kerajaan dan kekaisaran seolah menjadi bunyi-bunyian sumbang yang pelan-pelan ditinggalkan.
Akan tetapi ada sebuah corak kemonarkian yang justru selamat dari himpitan peradaban. Ia hidup berkamuflase terhadap segala bentuk perubahan yang terjadi di era modern. Seolah-olah demokratis, padahal sebetulnya tidak. Kita semua mencium bau busuknya lewat seragam federasi sepak bola.
Di belahan bumi mana pun, organisasi yang menginduki sepak bola selalu dikoridori oleh dinding-dinding yang dirancang untuk mustahil ditembus. Tak sembarang orang bisa masuk ke dalamnya, terkecuali mereka yang memang telah sejak awal sejalan dan dipersiapkan memainkan orkestrasi yang sudah ada.
Privilese ini berlaku di seluruh dunia, baik itu dalam skala teritori negara maupun skala regional dan global. Federasi sepak bola secara terang-terangan melakukan praktek monopolistik terhadap sepak bola, tanpa bisa diganggu gugat. UEFA adalah contoh paling sempurna.
Sebagai federasi yang menaungi sepak bola di benua biru, UEFA menjadi biang keladi atas wajah sepak bola hari ini yang erat kaitannya dengan nilai-nilai materialistik. 73 persen perputaran uang dari industri sepak bola dunia, berasal dari wilayah yang menjadi yuridiksi UEFA.
Limpahan uang disertai dengan kekuasaan yang absolut, membuat UEFA menjelma sebagai monster ganas yang menghisap darah para anggota yang menyokongnya. UEFA tak hanya berwenang menciptakan sistem dan membuat regulasi, mereka juga diijinkan untuk menjalankannya.
UEFA juga berwenang melakukan pengawasan terhadap proses-proses yang mereka jalankan sendiri. Mereka juga berhak menarik sebanyak-banyaknya manfaat, dari sistem yang mereka ciptakan.
Saat pandemi mulai memukul keuangan banyak klub di Eropa pertengahan 2020 lalu, UEFA seolah menutup mata terhadap kegentingan yang terjadi. Satu per satu klub-klub berguguran, namun UEFA hanya bersikap cuci tangan dengan hanya melonggarkan jadwal, tanpa menyentuh aspek kegawat-daruratan klub yang tengah kolaps.
Banyak klub berada di ambang kematiannya, sementara UEFA tetap tak kehilangan pemasukan sama sekali. Pundi-pundi mereka bahkan disinyalir bertambah, sebab pendapatan hak siar dan biaya iklan melonjak signifikan semenjak fans dilarang datang ke stadion.
Ironi, di saat saturasi keuangan klub-klub ada pada level mengkhawatirkan. UEFA justru semakin kaya raya. Hal ini tentu membuat jengkel banyak pihak. Beberapa klub raksasa mulai memiliki kesadaran, betapa selama ini mereka cuma dijadikan sapi perah tanpa pernah benar-benar diperhatikan.
Semenjak UEFA berdiri, sepak bola telah menempuh banyak etape evolusi yang mengantarkannya pada wajah sepak bola hari ini. Sepak bolanya berubah, industrinya berubah. Namun UEFA-nya tidak mengalami perubahan sama sekali. Itulah mengapa, wacana mereformasi tubuh UEFA kembali bergulir.
Dimotori oleh tiga raksasa sepak bola, Real Madrid, Barcelona dan Juventus. Gagasan mereformasi UEFA coba disiasati ketiganya dengan mengadopsi jalan NBA kala merevolusi total wajah olahraga basket Amerika, bahkan wajah basket dunia.
Presiden Juventus, Andrea Agnelli, selaku tokoh yang paling lantang menyuarakan reformasi UEFA, memandang bahwa klub-klub di Eropa membutuhkan kompetisi yang menawarkan kemanfaatan jauh lebih adil, serta dapat dipertanggung jawabkan.
Agnelli melihat kompetisi yang dinaungi UEFA hari ini seperti Liga Champions dan Liga Eropa, gagal menghasilkan prinsip-prinsip itu. Karenanya, Agnelli menawarkan sebuah konsep kompetisi bertajuk Liga Super Eropa.
Tentu UEFA tidak tinggal diam. Menyadari bahwa suara-suara sumbang ini bisa mengguncang federasi secara keseluruhan, mereka mencari-cari cara agar arus opini bisa dikendalikan.
Melalui sang Presiden, Aleksander Ceferin, ia balik menyerang suara-suara yang mengusik organisasinya itu lewat narasi yang membenturkan klub dengan para penggemarnya.
Polemik pun pecah, banyak kelompok fans yang tergiring opini oleh narasi yang dibangun UEFA, berbalik menyerang klub. Mayoritas bersuara menolak klub kesayangannya ikut ambil bagian dalam kompetisi Liga Super.
UEFA dan para oligark di belakangnya, tentu tak mau mereka akan bernasib sama seperti federasi basket di Amerika Serikat, yang pada akhirnya tunduk pada kompetisi baru bernama NBA. UEFA tahu betul betapa berbahayanya siasat Agnelli bersama Liga Supernya akan bisa mengancam hegemoni, bahkan menutup pipa-pipa uang yang selama ini masuk ke kantong mereka.
Tak berhenti sampai di situ, April tahun lalu UEFA juga melayangkan gugatan ke pengadilan terhadap Madrid, Barca dan Juve atas tindakan ilegal menggagas kompetisi di luar persetujuan UEFA. Akan tetapi gugatan itu kandas di palu hakim.
Juli 2021 lalu, pengadilan akhirnya memutuskan untuk menolak gugatan dari UEFA karena dianggap tidak berdasar. Pengadilan bahkan menilai gugatan ini berpotensi mencederai prinsip-prinsip hak asasi manusia. Mereka mengisyaratkan klub-klub berhak mengatur kompetisi mereka sendiri, tanpa intervensi pihak lain.
UEFA juga diwajibkan mematuhi putusan pengadilan dengan menghapus segala bentuk hukuman yang hendak dijatuhinya kepada klub-klub tergugat. Serta menggugurkan niat serupa terhadap para pemain yang bermain di dalamnya.
Putusan ini juga berbuntut pada akan diawasinya UEFA oleh Pengadilan Eropa di Luksemburg. Pengadilan akan mempelajari indikasi praktek-praktek monopolistik yang disinyalir dilakukan UEFA atas sepakbola Eropa.
Peristiwa ini semestinya bisa cukup menyadarkan banyak pihak, bahwa selama ini UEFA telah menempatkan diri mereka sebagai regulator tunggal merangkap operator eksklusif, sekaligus pemilik hak kompetisi sepak bola Eropa. Mereka tak hanya melakukan praktek-praktek monopolistik, melainkan juga kartel.
Posisi ini jelas berpotensi merusak sepak bola berikut industri yang menyertai di baliknya. Sepanjang sejarahnya berdiri, baru sekali ini UEFA dipermalukan secara sangat telanjang oleh para klub anggotanya.
Isu mengenai Liga Super Eropa sebetulnya sempat sedikit mereda, banyak pengamat meyakini terjadi konsolidasi antara UEFA dan para inisiator. Akan tetapi perseteruan kembali memanas, ketika Ceferin menyerang Agnelli dengan menyebutnya sebagai "Putin-nya sepak bola".
Alih-alih menerangkan dan memberi sanggahan kepada publik mengenai kecurigaan terkait praktek monopolistik, Ceferin justru menyerang lawannya secara personal. Padahal publik menunggu UEFA mengeluarkan bantahan terhadap Agnelli dkk, melalui debat argumentatif yang sehat dan berbasis data.
Agnelli sendiri tampak tak tertarik menimpali serangan-serangan yang bersifat nir-intelektual. Disamakan dengan sosok Putin, tentu tak melulu berkonotasi negatif. Tergantung dari sudut pandang mana orang mau melihatnya.
Dalam sebuah kesempatan di acara Bussiness of Football Summit Financial Times di London (3/3/2022), Agnelli lebih tertarik menjelaskan komitmennya terhadap reformasi di tubuh UEFA. Ia meyakini sudah waktunya federasi sepak bola yang menjadi episentrum pasang mata dunia itu, menanggalkan jubah kemonarkiannya yang tak lagi relevan dengan zaman.
Sebagaimana yang dilakukan Putin terhadap NATO hari ini, Agnelli sebetulnya tengah berupaya menciptakan ekosistem sepak bola baru di Eropa yang jauh lebih ideal. Baik itu secara kompetisi, maupun secara tata kelola federasi.
Untuk melawan kesewenang-wenangan dan menciptakan keseimbangan baru, terkadang dunia membutuhkan "orang-orang gila" macam Putin. Agnelli rela memainkan peran itu.
Tentu gagasan mereformasi UEFA bisa saja kandas di tengah jalan. Cita-cita Agnelli melahirkan Liga Super Eropa boleh jadi juga cuma akan ada di level angan-angan. Namun itu tak berarti UEFA akan selamat di lain hari. Sepak bola akan terus berevolusi menuju bentuknya yang paling ideal.
Dengan atau tanpa keberadaan Liga Super, atau bahkan tanpa keberadaan UEFA. Percayalah, sepak bola niscaya akan menemukan jalan menuju perubahannya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H