Semenjak UEFA berdiri, sepak bola telah menempuh banyak etape evolusi yang mengantarkannya pada wajah sepak bola hari ini. Sepak bolanya berubah, industrinya berubah. Namun UEFA-nya tidak mengalami perubahan sama sekali. Itulah mengapa, wacana mereformasi tubuh UEFA kembali bergulir.
Dimotori oleh tiga raksasa sepak bola, Real Madrid, Barcelona dan Juventus. Gagasan mereformasi UEFA coba disiasati ketiganya dengan mengadopsi jalan NBA kala merevolusi total wajah olahraga basket Amerika, bahkan wajah basket dunia.
Presiden Juventus, Andrea Agnelli, selaku tokoh yang paling lantang menyuarakan reformasi UEFA, memandang bahwa klub-klub di Eropa membutuhkan kompetisi yang menawarkan kemanfaatan jauh lebih adil, serta dapat dipertanggung jawabkan.
Agnelli melihat kompetisi yang dinaungi UEFA hari ini seperti Liga Champions dan Liga Eropa, gagal menghasilkan prinsip-prinsip itu. Karenanya, Agnelli menawarkan sebuah konsep kompetisi bertajuk Liga Super Eropa.
Tentu UEFA tidak tinggal diam. Menyadari bahwa suara-suara sumbang ini bisa mengguncang federasi secara keseluruhan, mereka mencari-cari cara agar arus opini bisa dikendalikan.
Melalui sang Presiden, Aleksander Ceferin, ia balik menyerang suara-suara yang mengusik organisasinya itu lewat narasi yang membenturkan klub dengan para penggemarnya.
Polemik pun pecah, banyak kelompok fans yang tergiring opini oleh narasi yang dibangun UEFA, berbalik menyerang klub. Mayoritas bersuara menolak klub kesayangannya ikut ambil bagian dalam kompetisi Liga Super.
UEFA dan para oligark di belakangnya, tentu tak mau mereka akan bernasib sama seperti federasi basket di Amerika Serikat, yang pada akhirnya tunduk pada kompetisi baru bernama NBA. UEFA tahu betul betapa berbahayanya siasat Agnelli bersama Liga Supernya akan bisa mengancam hegemoni, bahkan menutup pipa-pipa uang yang selama ini masuk ke kantong mereka.
Tak berhenti sampai di situ, April tahun lalu UEFA juga melayangkan gugatan ke pengadilan terhadap Madrid, Barca dan Juve atas tindakan ilegal menggagas kompetisi di luar persetujuan UEFA. Akan tetapi gugatan itu kandas di palu hakim.
Juli 2021 lalu, pengadilan akhirnya memutuskan untuk menolak gugatan dari UEFA karena dianggap tidak berdasar. Pengadilan bahkan menilai gugatan ini berpotensi mencederai prinsip-prinsip hak asasi manusia. Mereka mengisyaratkan klub-klub berhak mengatur kompetisi mereka sendiri, tanpa intervensi pihak lain.
UEFA juga diwajibkan mematuhi putusan pengadilan dengan menghapus segala bentuk hukuman yang hendak dijatuhinya kepada klub-klub tergugat. Serta menggugurkan niat serupa terhadap para pemain yang bermain di dalamnya.