Dosa besar Filippo Inzaghi bagi AC Milan ialah karena dirinya membuat namanya melekat abadi di seragam nomor 9.
Sepeninggal Inzaghi, Milan seolah tampak kesulitan menemukan sosok penyerang murni. Beberapa upaya mereka menghadirkan nama-nama besar seperti, Gonzalo Higuain, Mario Mandzukic, hingga Krystop Pjatek. Kisahnya selalu berakhir anti klimaks.
Seragam nomor 9 memang diidentikkan dengan pemain yang dikenal buas dan licin dalam mencetak gol. Seolah ada konsesus tak tertulis yang mengharuskannya seperti itu.
Sialnya, capaian fantastis yang ditorehkan Inzaghi di Milan, memerangkap para penerus estafetnya untuk hanya bisa berjalan di tempat. Terjebak dalam bayang-bayang Inzaghi yang terlalu kuat.
Inzaghi memang bedebah. Kalau boleh jujur, sebenarnya ia tak jago-jago amat bermain sepak bola. Kemampuan olah bolanya bahkan sering diolok-olok tak lebih baik dari seorang kiper.
Ia sering kalah berduel satu lawan satu. Jarang menggiring apalagi menggocek bola. Ia bahkan tak tahu bagaimana caranya merebut bola kembali saat kehilangan.
Sialannya, Inzaghi selalu saja dinaungi keberuntungan. Gol demi gol yang ia bukukan, seringkali tampak seperti sebuah kebetulan.
Ia seolah tahu ke mana bola akan mengarah. Tak peduli ia mengawali gol-golnya dari sebuah umpan ataupun bola muntah, ia selalu ada pada titik di mana kaki dan kepalanya bisa menjangkau bola, entah bagaimana caranya.
Banyak orang percaya itu adalah insting dari seorang penyerang. Tak sembarang orang diberkati bakat seistimewa itu. Tetapi saya lebih mempercayai bahwa apa yang dimiliki Inzaghi tak sekadar bakat dan keberuntungan.
Inzaghi adalah pemain yang secara profesional melatih keras dirinya, sehingga ia bisa melihat serta memilih sendiri keberuntungannya.