Mohon tunggu...
Handi Aditya
Handi Aditya Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja teks komersil. Suka menulis, walau aslinya mengetik.

Tertarik pada sains, psikologi dan sepak bola. Sesekali menulis puisi.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Fenomena Marchisio, Pesepak Bola yang Diperlakukan Secara Tak Adil oleh Statistik

9 Februari 2022   13:05 Diperbarui: 10 Februari 2022   15:13 2290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Dalam sepak bola, relatif hanya ada sedikit hal yang dapat dihitung." Ungkap Luis Amaral, seorang profesor kimia dan rekayasa biologi dari Northwestern University.

Amaral dan rekan-rekannya yang sejak 2010 lalu memprakarsai penelitian mengenai bagaimana sepak bola dapat diterjemahkan lewat data, telah mengindikasikan bahwa tidak semua pergerakan pesepak bola di atas lapangan bisa dibaca sebagai sebuah keterhubungan.

Claudio Marchisio eks gelandang Juventus yang kini sudah gantung sepatu, adalah contoh paling riil. Betapa performanya yang secara statistik selalu tercatat kurang istimewa, namun posisinya di dalam kebutuhan skema taktis tim begitu vital dan sangat tak tergantikan.

Faktor x yang dimiliki Marchisio, seolah mengungkap variabel-variabel yang hingga kini masih belum mampu diformulasikan oleh perhitungan statistik. Bagaimana "pergerakan tanpa bola" yang kerap diperagakan oleh Marchisio, bagaimana cara ia mengomandoi rekan-rekannya di lini tengah, hanya mampu dibaca oleh akal budi manusia, bukan oleh hitung-hitungan statistik.

Di kalangan pemerhati sepak bola, Marchisio memang dikenal sebagai pemain yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Ia tahu bagaimana caranya melakukan pergerakan yang efisien, membuka ruang, mengintimidasi serta memancing pergerakan lawan, hingga membuat mereka melakukan kekeliruan di daerah pertahanannya sendiri. Ajaibnya, kemampuan itu dilakukan saat dirinya tidak sedang menyentuh ataupun membawa bola.

Karakteristik Marchisio inilah yang masih belum ditemukan formulasinya untuk bisa diterjemahkan ke dalam perhitungan statistik. Maka tak heran, sebaik apapun Marchisio melaksanakan tugasnya. Statistik lebih sering memberinya rapor 6 atau bahkan 7. Sangat-sangat tidak adil.

Begitu sedikitnya skor yang dihasilkan Marchisio dalam hitung-hitungan statistik, menjadikan dirinya sebagai pemain yang juga sulit sekali diterjemahkan secara algoritma.

Algoritma memang bisa memprediksi probabilitas gaya bermain, area bergerak favorit, serta ke arah mana pemain akan melepas umpan. Tetapi dengan catatan, data-data yang menopangnya itu haruslah kuat.

Fenomena Marchisio yang seolah menjadi "lubang" dalam ilmu pengetahuan analisis sepak bola, sebetulnya telah coba ditambal oleh banyak peneliti.

Berbagai eksperimen melalui teknologi hingga kecerdasan buatan, terus dikalibrasikan guna memecahkan fenomena Marchisio dan banyak pemain lain yang setipikal.

Perusahaan Match Analysis dari Amerika Serikat, yang menjadi rekanan Major League Soccer dalam penyajian data. Bahkan telah sampai menggunakan teknologi K2 Panoramic Video, dalam melakukan pelacakan dan pengumpulan data pesepak bola di atas lapangan secara lebih akurat.

Singkatnya, teknologi ini mampu menghasilkan video beresolusi tinggi, kemudian komputer akan memprosesnya menjadi sebuah laporan statistik yang akurat dan komprehensif.

Sayangnya, teknologi ini belum sepenuhnya bisa diandalkan tanpa campur tangan manusia. Walau secara hasil pemetaan, sudah sangat baik. Namun kritik terhadap errornya masih perlu dibenahi. Terlebih dalam membaca pemain-pemain spesifik seperti Marchisio, yang dalam satu pertandingan bisa sangat sedikit sekali menyentuh bola.

Kegagapan teknologi dalam menerjemahkan faktor-faktor yang tak mampu dihitung secara matematis, semestinya bisa menyadarkan banyak pihak terutama mereka yang mengagung-agungkan statistik, sebagai satu-satunya acuan dalam menilai performa seorang pemain.

Saya juga menyayangkan, ada banyak pundit dadakan di media sosial yang menelan mentah-mentah statistik, sebagai acuan membuat konten analisis pertandingan, tanpa menyaksikan pertandingannya sama sekali.

Jika kecerdasan buatan saja tak mampu menerjemahkan pertandingan secara sempurna, bagaimana para pundit dadakan yang kecerdasannya "dibuat-buat" ini bisa menerjemahkan pertandingan hanya bermodal statistik?

Fenomena Marchisio ini juga bisa menjadi penanda yang jelas, bahwa ada beberapa hal dalam sepak bola yang tak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa lain, kecuali oleh bahasa sepak bola itu sendiri.

Itulah mengapa, Marchisio pernah menjadi pemain yang begitu diidam-idamkan oleh pelatih sekaliber Alex Ferguson dan Pep Guardiola, sekalipun secara statistik, angka-angka yang ditorehkan Marchisio tak bagus-bagus amat.

Saya percaya cepat atau lambat, ilmu pengetahuan pasti akan mampu menutup lubang dari fenomena Marchisio ini. Entah bagaimana caranya.

Tetapi selagi sepak bola masih menjaga keluhurannya sebagai olahraga yang manusiawi, kecerdasan komputasi setinggi apapun rasanya akan terus menemui kesulitan dalam mengenali bahasa manusia yang kadang terukur, kadang tidak sama sekali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun