Mohon tunggu...
Handi Aditya
Handi Aditya Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja teks komersil. Suka menulis, walau aslinya mengetik.

Tertarik pada sains, psikologi dan sepak bola. Sesekali menulis puisi.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Buffon, Sang Superman yang Menolak Kalah dari Depresi

28 Januari 2020   13:29 Diperbarui: 28 Januari 2020   17:35 1056
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lukisan The Promenade karya Marc Chagall, sumber: Wikipedia

Saat kita mengetik nama "Gianluigi Buffon" di laman mesin pencari, kita akan dengan mudah menemukan kisah-kisah heroik tentang lelaki kelahiran Carrara, 42 tahun lalu ini. Dari mulai kiprahnya satu tim dengan Hernan Crespo di Parma, sampai kisahnya berbagi peran sebagai sang kapten tim bersama Alessandro Del Piero di Juventus. Semua bisa dengan mudah kita jumpai.

Akan tetapi hanya sedikit yang tahu, bahwa pesepakbola berjuluk "Superman" ini pernah sempat berpikir untuk berhenti dari dunia sepak bola di saat usianya baru menginjak 25 tahun.

Ketika itu, tak ada yang tahu, Gigi, sapaan akrabnya, mengalami sesuatu yang awalnya hanya dikira sebagai sebuah keletihan biasa.

Suatu ketika, saat ia tengah berbaring di tempat tidur, Buffon merasakan lemas yang cukup melumpuhkan pada bagian kaki. Ia ketakutan, khawatir kakinya tak lagi bisa berjalan. Kemudian di saat yang sama, kakinya mendadak bergetar, seperti sedang mengalami tremor hebat, dan ia tak mampu menghentikannya sama sekali.

Kejadian ini diungkapkannya dalam sebuah wawancara dengan The Players Tribune. Buffon bercerita bagaimana ia mengalami kepanikan luar biasa saat itu dan meminta bantuan kepada klub guna mengetahui apa yang tengah dideritanya.

Namun dari serangkaian cek medis yang dilakukan, Buffon didiagnosa tak memiliki penyakit apapun, melainkan sesuatu yang lebih mengkhawatirkan lagi: Buffon dinyatakan mengalami depresi.

Ia mengalami banyak keletihan secara psikis dalam menjalani rutinitas kesehariannya, yang kemudian membuatnya merasa "kosong" dan merasa kehilangan sesuatu yang bahkan ia sendiri tidak tahu.

Di usianya saat itu, Buffon sudah meraih banyak kesuksesan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ia sama sekali tak menyangka, bisa berada di level tertinggi secepat itu. Memulai karir di Parma, lalu bisa satu tim dengan sang idola, Del Piero. Sungguh capaian yang sangat fantastis. 

Euforia demi euforia ia lewati. Publisitas dan ketenarannya meroket. Orang-orang mulai banyak membicarakannya hampir setiap hari. Sementara di saat yang sama, Buffon kehilangan waktu untuk dirinya sendiri, untuk apa-apa yang ia sukai.

Bahkan yang lebih menyedihkan, ia mulai kehilangan arah, hingga tak punya tujuan hidup sama sekali. Hari-harinya kian kosong, hidupnya menyepi di saat karirnya sedang riuh-riuhnya. 

Berada di level Buffon saat itu, bukanlah sesuatu hal yang mudah untuk dijalani. Ia berkarir untuk klub sebesar Juve yang menuntutnya bekerja dengan sangat keras, disiplin, serta menjaga determinasi untuk tetap senantiasa prima. Kesalahan sedikit apapun, tak bisa ditoleransi. Buffon memang seorang Superman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun