Banyak hal di dunia ini yang terlihat cantik dan indah. Lampu warna-warni di underpass Mampang itu cantik, pedestrian di Pajajaran Bogor itu indah, dan tentu saja kamu, cantik dan indah.
Ketiga hal tadi ialah beberapa contoh di antara hal-hal cantik dan indah. Sementara permainan sepakbola Juventus? Jelas bukan keduanya. Mengapa?
Tidak ada klub yang semubazir Juve saat ini. Mereka mendatangkan Ronaldo mahal-mahal, cuma untuk menjadi eksekutor penalti. Mereka rela menggaji selangit Aaron Ramsey, hanya untuk menjadi ban serep Sami Khedira.
Dan coba tebak, apa yang paling sia-sia? Mereka mempertahankan Paulo Dybala, cuma untuk menjadi pemandu sorak bagi Bernardeschi dari bangku cadangan.
Ronaldo, Ramsey dan Dybala, ketiganya sudah amat memenuhi prasyarat untuk dijadikan trisula mematikan di lini depan. Tetapi sang juru taktik Juventus, Maurizio Sarri, lebih senang memainkan ketiganya bersamaan, hanya pada kondisi-kondisi tertentu saja. Saat latihan, misalnya.
Sarri tampak lebih percaya pada bisikan nikotin di setiap rokok yang dihisapnya, yang seolah-olah berkata, Bernardeschi akan mencetak tiga gol spektakuler, jika dipasangkan bersama dengan Khedira dan Matuidi malam ini. Selalu begitu.
Memang, tidak ada yang salah dengan keputusan Sarri. Ia punya hak untuk memilih pemain mana, yang menurutnya paling siap menerjemahkan siasatnya di atas lapangan.
Tapi mengesampingkan Dybala yang tengah on fire, dan lebih memilih Bernardeschi menjadi core serangan, tentu ini merupakan pertanda, Akal sehat Sarri sudah terpapar Nikotin dalam dosis yang terlalu banyak.
Lucunya adalah, baru beberapa hari lalu, Sarri sempat berujar, bahwa ia masih belum bisa memainkan skema "Sarri Ball" sesuai yang ia inginkan, karena komposisi pemain yang ada, menurutnya masih sulit beralih dari skema pelatih sebelumnya. Helaaaaw?
Bukankah Sarri sendiri yang memilih Khedira, Matuidi & Bernardeschi; tiga serangkai andalan Max Allegri, pelatih Juve sebelumnya, yang dikenal dengan skema "tiki-taka" di zona pertahanan sendiri? Lalu lihat sendiri hasilnya sekarang, melawan tim sekelas Sassuolo saja, Juve "engap-engapan".
Tetapi mungkin, memang seperti inilah Identitas Juventus sejak dulu. Tak mengenal sepak bola cantik, apalagi indah. Bahkan ketika Juventus menjadi penguasa Eropa sekalipun, mereka memainkan sepak bola pragmatis, membosankan dan tentu, ngeselin. Saat tim lain sibuk mengadaptasi skema "total football", mereka malah asyik senam "poco-poco" di wilayah sendiri.