Karena dengan menjadi peserta BPJS Kesehatan, kita bisa berobat dengan keluhan penyakit apapun, di rumah sakit manapun yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan tanpa khawatir akan ditolak, 'diping-pong' sana-sini, atau yang lebih parah sekali, ditelantarkan dan tak dibiarkan menerima penanganan sama sekali.
Belajar dari pengalaman ini, saya berusaha sekuat tenaga untuk mendorong perusahaan agar mau mengevaluasi kembali aturan dan kebijakannya yang mengatur kompensasi & benefit bagi karyawan kemitraan, utamanya dalam pembiayaan kepesertaan BPJS Kesehatan. Berkali-kali saya berdebat hebat mengenai perlunya perusahaan mengikut-sertakan seluruh karyawannya ke dalam BPJS Kesehatan tanpa terkecuali.
Namun argumen saya selalu dipatahkan oleh data keuangan perusahaan, yang memang akan sedikit terbebani jika perusahaan menerima dan menjalankan gagasan saya. Marah sih tidak, tetapi jengkel sudah pasti. Karena bagi saya, biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk membiayai kepesertaan BPJS Kesehatan bagi seluruh karyawan, tidaklah terlalu signifikan dalam membebani keuangan perusahaan. Bahkan hanya sedikit saja mengurangi profit yang ada. Sedikit sekali. Tetapi lagi-lagi, saya harus menghormati apapun yang sudah menjadi keputusan perusahaan.
Tetapi tak berhenti sampai di situ, saya berinisiatif mengajak seluruh karyawan kemitraan di perusahaan tempat saya bekerja, untuk mengurus sendiri kepesertaannya secara mandiri.
Dalam sebuah kesempatan, saya mengajak mereka berdiskusi mengenai pentingnya kepesertaan BPJS Kesehatan. Dengan mengambil contoh dari pengalaman si karyawan yang sakit usus buntu tadi, saya berupaya menyadarkan mereka mengenai betapa pentingnya memiliki jaminan perlindungan kesehatan pribadi.
Saya bersyukur niat baik saya ternyata disambut baik oleh mereka yang selama ini sudah memiliki kesadaran mengenai pentingnya BPJS Kesehatan, namun selama ini masih mengurungkan niat mengurus kepesertaannya karena khawatir prosesnya berbelit-belit, memakan waktu lama, atau bahkan dipersulit.
Tetapi dengan sedikit penjelasan yang tepat, saya berhasil meyakinkan mereka untuk mau mengurus segera kepesertaannya di BPJS Kesehatan, walau masih saja ada satu-dua karyawan yang 'ngeyel' dan beranggapan bahwa ikut kepesertaan BPJS Kesehatan hanya membuang-buang uang saja. Terhadap orang-orang yang memiliki pola pikir semacam itu, saya hanya bisa mendoakan kesehatan mereka agar selalu baik sepanjang waktu.
Mengurus kepesertaan BPJS Kesehatan memang tak bisa dibilang mudah, namun juga tak pas jika dikatakan sulit.
Sebab belajar dari mereka yang telah mengurus sendiri kepesertaannya, setidaknya hanya ada dua hal saja yang diperlukan dalam mengurus BPJS Kesehatan secara mandiri.
Pertama ialah kemauan, yang kedua ialah kerelaan. Kerelaan dalam menunggu antrean, serta kerelaan untuk menyisihkan sedikit uang untuk iuran bulanan yang nominalnya relatif tidak terlalu besar. Sesederhana itu. Selebihnya, BPJS Kesehatan akan menjamin penuh segala jenis fasilitas kesehatan yang kita butuhkan selama kita masih mengikuti kepesertaannya.
Di luar sana, saya percaya masih ada banyak pekerja yang mungkin bernasib sama dengan para karyawan kemitraan di perusahaan tempat saya bekerja sekarang. Mereka yang belum memiliki jaminan perlindungan terhadap kesehatannya sendiri, mereka yang tak tahu ke mana harus mencari biaya pengobatan jika sewaktu-waktu musibah penyakit menghampiri mereka.