Mohon tunggu...
E HandayaniTyas
E HandayaniTyas Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

BIODATA: E. Handayani Tyas, pendidikan Sarjana Hukum UKSW Salatiga, Magister Pendidikan UKI Jakarta, Doktor Manajemen Pendidikan UNJ Jakarta. Saat ini menjadi dosen tetap pada Magister Pendidikan Program Pasca Sarjana Universitas Kristen Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Ada Apa dengan Hukuman Mati?

10 Agustus 2023   22:32 Diperbarui: 10 Agustus 2023   22:45 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sungguh mengherankan dengan apa yang terjadi dan kita saksikan bersama, perilaku koruptif itu semakin dibabat -- semakin merambat, seolah tak ada jera-jeranya. 

Siapapun jadi bertanya-tanya, kok tega-teganya bantuan untuk orang miskin, orang terkena bencana alam atau berbagai musibah lainnya tetap dikorup. 

Akhir-akhir ini yang masih hangat-hangatnya berlangsung yaitu BTS (Base Transceiver Station) suatu infrastruktur telekomunikasi yang memfasilitasi komunikasi nirkabel antara perangkat komunikasi dan jaringan operator, mendapat 'gangguan' juga oleh orang-orang serakah dan rakus.

Hukuman mati bagi koruptor telah diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Tindak Pemberantasan Korupsi (UU Tipikor) bahwa pidana mati dapat dijatuhkan dalam keadaan tertentu, akan tetapi mengapa dirasa masih kurang efektif. 

Efek jera harus dimaknai sebagai upaya preventif yang dapat membuat setiap orang takut melakukan korupsi. Oleh karena itu, salah satu terobosan hukum yang diperlukan bagi penegak hukum adalah penerapan hukuman mati bagi koruptor.

Rupanya perlu reformasi hukum di Indonesia ini, perlu ada perbaikan di bidang hukum mulai dari institusi dan aparat penegak hukum hingga peraturan perundang-undangan.  

Dengan mereformasi dasar hukum, yaitu Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang selama ini memberi kewenangan sangat besar kepada aparat penegak hukum sehingga dapat terjadi penyalahgunaan kekuasaan (utamanya) dalam hal tindak pidana korupsi. Birokrasi tidak berliku dan berbelit, pengawasan diperketat dan harus independen, mental dan karakter Sumber Daya Manusia (SDM) dibangun menjadi baik dan benar.

Sebagaimana dikatakan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD, perbaikan di bidang hukum itu akan dilakukan pemerintah dengan mengatur langkah-langkah pemberantasan korupsi yang tegas dan cepat agar persepsi masyarakat naik. Apabila kasus korupsi makin marak maka persepsi publik pasti akan turun. Citra baik negara yang sudah diakui dunia dipertaruhkan, kewibawaan kepala negara tidak boleh diganggu-gugat.

Sebagai penutup dari tulisan ini, penulis tetap menyerukan bahwa: 'Rejeki itu pasti cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, tapi bukan untuk gaya hidup'. Apalah artinya hidup bermewah-mewah dari hasil korupsi, kalau harus berakhir dengan tragis yaitu dor! dan selesai...

Jakarta, 10 Agustus 2023

Salam penulis: E. Handayani Tyas, dosen Univ. Kristen Indonesia; tyasyes@gmail.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun