Mohon tunggu...
E HandayaniTyas
E HandayaniTyas Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

BIODATA: E. Handayani Tyas, pendidikan Sarjana Hukum UKSW Salatiga, Magister Pendidikan UKI Jakarta, Doktor Manajemen Pendidikan UNJ Jakarta. Saat ini menjadi dosen tetap pada Magister Pendidikan Program Pasca Sarjana Universitas Kristen Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Eka - Eki - Ela

30 November 2022   23:04 Diperbarui: 30 November 2022   23:10 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tiga kata yang penulis jadikan judul dalam tulisan ini bukan nama orang dan tidak bermaksud mengusik siapapun yang kebetulan memiliki nama EKA, EKI dan ELA. Ke tiga kata ini, penulis dengar langsung dan simak ketika penulis mengikuti pelatihan dan kini ingin rasanya penulis menuangkannya dalam bentuk urun rembug sebagai salah satu bentuk misi perdamaian.

            EKA adalah Ekstrim Kanan

            EKI adalah Ekstrim Kiri

            ELA adalah Ekstrim Lainnya.

Nah sekarang mari kita cermati masing-masingnya.

EKA (Ekstrim Kanan) adalah suatu paham yang sangat 'rigit' (kaku), mereka yang memiliki semangat beragama yang sangat kuat, yang ditindak lanjuti dengan berbagai relasi sosial dan politik. 

Biasanya kelompok ini memandang agama menjadi sumber motivasi pribadi, kelompok, bangsa dan negara. Mereka  dengan mudah mengkafir-kafirkan orang lain yang tidak sepaham dengannya (berbeda paham); EKI (Ekstrim Kiri) adalah kelompok liberal, mereka yang memiliki pemahaman  liberal yang kesukaannya mempersoalkan perkawinan beda agama; sedangkan ELA (Ekstrim Lainnya) adalah mereka yang bukan termasuk pada ekstrim kanan maupun ekstrim kiri. Ia netral, akan tetapi kenetralan itu juga dapat menyesatkan.

Pancasila yang disahkan sebagai dasar negara Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945 adalah komitmen bersama demi kejayaan dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Namun, anehnya mengapa masih ada kelompok yang senangnya mengusik dasar negara ini, dengan memperjuangkan ideologi lain selain Pancasila. 

Seperti ekstrim kanan yang menghendaki negara Islam atau sistem khilafah, dan ekstrim kiri yang menginginkan sistem komunis. Kesemuanya itu (kanan dan kiri) mengakibatkan terjadinya disintegrasi bangsa, oleh karena itu pemerintah telah bertindak tegas terhadap gerakan apapun yang bertujuan mengganti ideologi Pancasila.

Baik ekstrim kanan maupun ekstrim kiri harus diwaspadai, bahkan ditumpas karena mengancam kelangsungan ideologi Pancasila. Radikalisme dan terorisme adalah ancaman nyata yang benar-benar harus ditangkal, sedangan ancaman yang belum nyata berupa analisa strategis berupa niat jahat untuk mengacaukan dan biasanya destruktif. Jelas-jelas memicu terjadinya konflik sosial yang mengakibatkan disintegrasi bangsa. 

Menteri agama (waktu itu, tahun 2014) Bapak Lukman Hakim Saifuddin dengan tegas menyatakan: 'Awas Ekstrim Kanan dan Ekstrim kiri!'. Sejalan dengan pemikiran beliau, Bapak Menteri agama yang sekarang (H. Yaqut Cholil Qoumas) mengatakan: 'Bahwa Pancasila ditetapkan sebagai simbol mengukuhkan pendirian Negara Republik Indonesia yang merdeka'. Pancasila diposisikan sebagai visi bersama bagi pencapaian tujuan-tujuan negara-bangsa yang diperjuangkan.

Pancasila adalah tanda kesatuan (sign of unity) dan Pancasila juga dikukuhkan sebagai wawasan politik atau dasar negara. Oleh karena itu, sikap peduli dan kemauan keras untuk membangun nasionalisme yang kokoh kuat sangat diperlukan bangsa ini untuk menangkal segala bentuk paham yang menyesatkan itu. Tindakan Tangkal Awal -- Tanggap Awal -- Cegah Awal harus selalu disiagakan untuk melakukan tindakan early warning and early detection yang kita pahami sebagai peringatan lebih dini dan kemampuan mendeteksi lebih dini akan segala sesuatu yang keinginannya adalah mengubah ideologi Negara Republik Indonesia, seperti EKA dan EKI.

Sedangkan ELA itu contohnya adalah Westernisasi (masuknya paham barat yang bisa merusak moral bangsa, seperti: gaya hidup masyarakat yang lebih konsumtif dan mereka yang lebih menyukai segala sesuatu yang sifatnya instan). 

Hal itu jelas-jelas menunjukkan kurangnya semangat mencintai budaya bangsa sendiri. Liberalisme, merupakan bentuk ancaman terhadap ideologi politik, sosial budaya dan ekonomi, dan kapitalisme yang merupakan perluasan dari paham kebebasan sehingga bisa berakibat 'kebablasan'. 

Kalau dikatakan Indonesia menganut politik bebas-aktif itu bukan lalu bersikap netral melainkan politik luar negeri yang bebas menentukan sikap dan kebijaksanaan terhadap permasalahan internasional dan tidak mengikatkan diri secara apriori pada kekuatan dunia.

Munculnya EKA dan EKI sebagai Dampak Globalisasi

Problem pokok yang kini harus diwaspadai dan ditangkal sedini mungkin adalah intoleransi, utamanya adalah intoleransi keberagamaan sebagaimana kita ketahui bersama, intoleransi adalah sikap abai atau rasa ketidakpedulian terhadap eksistensi orang lain. Hal ini sangat membahayakan keutuhan bangsa, rawan terjadinya konflik ras, antarsuku dan atau agama. 

Minimnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan sehingga menghambat pemerataan. Seseorang yang memiliki sikap intoleransi cenderung lebih mudah merendahkan orang lain, tidak bersedia mendengarkan orang lain, maunya hanya didengarkan saja. Orang-orang semacam ini harus segera dilibas tuntas supaya tidak semakin meluas diberbagai daerah dan nantinya pasti sulit dikendalikan.

Kini konflik sudah mengarah ke disintegratif, kekerasan terjadi di mana-mana. Oleh karena itu, perlu rejuvenasi (mencerahkan) semboyan Bhinneka Tunggal Ika, nasionalisme harus tetap dijaga baik di dalam negeri apalagi di mata internasional. 

Mari kita tangkal intoleransi dengan Bhinneka Tunggal Ika, sebab bagaimanapun juga damai itu lebih indah, buat apa EKA -- EKI -- ELA, bisa-bisa ketiganya itu mengancam wibawa bangsa dan negara, memperlemah sendi-sendi perekonomian dan yang jelas intoleransi menjadi marak, semakin tumbuh subur.  Sebagai penutup tulisan ini penulis dengan tegas menyatakan: 'Jangan beri tempat EKA -- EKI -- ELA di bumi pertiwi!'

Jakarta, 30 Nopember 2022

Salam penulis:E.Handayani Tyas; Universitas Kristen Indonesia-tyasyes@gmail.com 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun