Sengaja penulis menggunakan kata plus minus, bukan suka duka, karena menurut hemat penulis mengajar dari rumah sesungguhnya hampir tidak ada dukanya. Â Dua tahun sudah, yang berarti ada 4 semester telah kita lalui bersama dalam suasana serba terbatas.Â
Betapa tidak, kegiatan hari-hari berlangsung serasa terkungkung di rumah saja. Rutinitas yang biasa dijalani dengan pagi pergi kerja dan sore/malam pulang kerja nyaris tidak ada lagi. Lingkungan kerja menjadi sebatas rumah, mulai bangun tidur pagi hingga menjelang tidur di malam hari, areanya adalah kamar tidur, kamar mandi, dapur, ruang makan, ruang kerja yang dilengkapi wifi, ruang keluarga yang dilengkapi TV dan aidio (musik) secukupnya untuk istirahat sejenak.
Pergi-pergi pun menjadi sangat terbatas karena belanja apapun dilakukan secara on line dari rumah. Kalau perlu makan pagi juga di pesan dari rumah, makan bersama keluarga atau teman di rumah makan juga harus patuh pada peraturan yang berlaku, demikian juga berkumpul untuk melakukan olah raga bareng-bareng juga dibatasi dan diikuti dengan penerapan protokol kesehatan yang amat sangat ketat.Â
Semua itu dimaksudkan untuk menekan penularan virus corona yang sampai kini masih belum juga lenyap, bahkan santer diberitakan adanya varian baru yang kian ganas. Kesehatan menjadi hal yang terutama harus diperhatikan sekarang ini karena sudah banyak korban meninggal dan terpapar covid-19.
Di bidang pendidikan, beberapa dosen merasakan betapa sulitnya mengajar dari rumah karena memang selama ini sudah terbiasa mengajar secara tatap muka di kelas. Sampai-sampai ada sejawat yang ingin cepat-cepat/segera pensiun gara-gara kesulitan menyesuaikan diri dengan model perbelajaran daring yang serba komputer. Jika kita tidak bisa adaptasi ya bisa dirundung rasa jengkel terus-menerus dan pastinya hal tersebut akan berimbas terhadap kesehatan jasmani dan rohani. Oleh karena itu, baiknya sejak kampus menghentikan kegiatan belajar mengajarnya, semua dosen, mahasiswa dan staf administrasi harus segera menyesuaikan diri.
Dunia berubah, harusnya kita juga ikut berubah dalam segala hal, berkomunikasi dan bekerja sama dengan teman dan sebagainya. Pendek kata jangan menutup diri, belajar -- belajar -- belajar; sama halnya dengan bekerja -- bekerja -- bekerja. Bukankah belajar itu berlangsung seumur hidup (lifelong learning).Â
Belajar tidak mengenal batas usia, kalau sekolah ada batasnya, yaitu sampai dengan strata 3 (S3). Akan tetapi kalau belajar tidak ada batas usia, justru dengan belajar kita menjadi lebih pintar. Belajar dan memiliki rasa ingin tahu, terutama tentang informasi dan teknologi (IT), bertanya kepada mereka yang lebih tahu membuat kita dari tidak tahu menjadi tahu dan dari tidak bisa menjadi bisa.
Ingatlah sewaktu kita masih kecil dulu ketika sedang belajar berjalan atau ketika kita belajar naik sepeda. Berapa kali terjatuh dan kemudian bangkit lagi, maka jangan hitung berapa kali kita jatuh tetapi hitunglah berapa kali kita bangun/bangkit. Hal ini mengingatkan penulis pada percobaan yang dilakukan oleh Thomas Alfa Edison ketika mau menciptakan bola lampu, ia tak kenal kata menyerah (never ever give up) dan dengan keuletannya itu ia menjadi orang berhasil dan berkat kegigihannya itu kini kita dapat menikmati hasil karyanya yang luar biasa manfaatnya.
Mengajar Dari Rumah
Kalau kita mengenal bekerja dari rumah (Work From Home/WFH), kita juga mengenal belajar/mengajar dari rumah (Learning From Home/LFH). Sepertinya mengajar dari rumah ini akan tetap berlanjut meskipun pandemi covid-19 telah usai nantinya, maka bersiaplah dan senantiasa menyesuaikan diri dengan kebiasaan baru (new normal). Kombinasi pembelajaran daring dan luring akan berlangsung efektif jika pendidik dan peserta didik mau berkolaborasi dengan baik dan benar. Rajin menambah pengetahuan melalui internet dan berbagai buku, jurnal dan karya-karya ilmiah yang tersedia baik secara on line maupun cetak.
Kegiatan mengajar dan belajar dari rumah dimaksudkan agar laju penularan covid-19 segera dapat teratasi, sudah banyak korban berjatuhan, jangan bertambah-tambah lagi. Indonesia perlu orang-orang pintar (berpengetahuan) Â untuk menyongsong Indonesia emas tahun 2045. Jangan lagi ada dokter, peneliti, ilmuwan dan usahawan yang harus gugur gara-gara covid-19. Munculnya teknologi di akhir abad XX hendaknya disambut baik oleh semua orang, seperti halnya WFH dan LFH, karena kita tidak harus datang ke kantor dan kampus bertatap muka dengan teman-teman untuk melakukan pekerjaan/tugas.
Sebagaimana penulis angkat pada judul tulisan di atas yaitu plus minus bekerja yang dalam hal ini mengajar dari rumah, memang ada tantangan yang sungguh mengasyikkan kalau saja WFH dan LFH diterima sebagai suatu kenyataan yang harus dijalani. Sementara orang merasakan bahwa dengan bekerja dari rumah ada waktu lebih untuk bersama keluarga, terutama bagi ibu-ibu muda yang masih mengasuh anaknya yang masih kecil (batita -- bawah tiga tahun atau balita -- bawah lima tahun). Mereka bisa bekerja sembari membereskan pekerjaan rumah tangga dan mendampingi serta mendidik putera/puterinya dengan lebih intensif.
Bekerja dari rumah, yang jelas tidak terpotong waktu perjalanan dari rumah ke kantor dan sebaliknya. Belum lagi kadang-kadang harus habis waktu gara-gara jalanan  macet atau harus berdesak-desakan di kendaraan umum yang sangat melelahkan. Bahkan bagi mereka yang bisa pulang kampung akan lebih asyik lagi, karena sangat mungkin mengajar dari rumah bisa dilakukan dari mana saja. Udara di kampung halaman relatif lebih sejuk nyaman dibanding dengan di kota besar seperti Jakarta, lagi pula tidak harus mengeluarkan biaya kost/kontrak juga ongkos transportasi.
Bagi mereka yang belum berumah tangga tentu memiliki lebih banyak waktu untuk mengasah dan meningkatkan kompetensinya ke tingkat yang lebih tinggi, sedang bagi mereka yang sudah berumah tangga mereka dapat mengelola waktunya bersama dengan keluarga sambil mengatur rumah tangganya. Sementara bagi dosen mereka lebih mempunyai cukup banyak waktu selain mengajar, ia dapat melakukan penelitian ilmiah atau banyak menulis diberbagai jurnal ilmiah nasional dan internasional. Adapun bagi mereka yang sedang menempuh studi lanjut, misalnya dari S2 ke S3, ia lebih bisa berkonsentrasi belajar supaya bisa lulus tepat waktu dengan prestasi yang bagus.
Urusan WFH dan LFH yang penting adalah pandai-pandai mengelola waktu dan setiap menangani pekerjaan hendaknya konsentrasi penuh. Dalam hal manajemen waktu, bagaimanapun juga WFH dan LFH pastinya lebih fleksibel, hemat waktu dan tenaga, juga bisa multitasking. Dari sekian banyak yang telah penulis uraikan di atas kiranya dapat kita pelajari dan renungkan bersama bahwa bekerja dari rumah harus dijalani dengan gembira, lebih banyak manfaatnya maka jalanilah, terlepas adanya beberapa tantangan yang harus diatasi seperti meningkatnya biaya listrik, biaya internet, bahkan dapat menimbulkan stres bagi mereka yang tidak mau belajar untuk berubah/maju.
Jakarta, 17 November 2021
Salam penulis: E. Handayani Tyas; Universitas Kristen Indonesia -- tyasyes@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H