Pandemi covid-19 memang belum usai, tapi gejalanya sudah tampak melandai. Kita patut bersyukur dan tetap waspada serta disiplin menerapkan protokol kesehatan. Oleh karena itu, mari kita sambut hari esok dengan optimis, siapkan segala sesuatunya lebih awal, lebih baik, lebih efektif dan efisien (mangkus dan sangkil). Bangkit segera, jangan tinggal dalam kesedihan berkepanjangan. Jangan mau berlarut-larut merasa terpuruk, khususnya bidang pendidikan. Bangsa yang maju adalah bangsa yang menaruh perhatian yang besar terhadap kemajuan pendidikan, kebudayaan, riset dan teknologi.
Sudah hampir dua tahun lamanya corona memporakporandakan kesehatan manusia, ekonomi, pikiran semua orang dari anak-anak sampai dewasa, pendidikan, bahkan nyaris mengganggu keamanan bernegara. Serbuan covid-19 sangat mencekam, masyarakat tertekan dan frustasi, anggaran negara terkuras dibuatnya. Peserta didik dari anak-anak, SD -- SMP -- SMA/SMK mengalami banyak emosi negatif, stres, bahkan ada yang sampai depresi. Diliputi rasa jenuh dan bosan terkungkung di rumah sehingga mengganggu kesehatan mental saat belajar di rumah atau sekolah dari rumah.
Berbagai kendala dan kesulitan belajar yang dirasakan selama menjalani Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) secara daring ketika mereka sulit memahami materi ajar, kesulitan menjawab soal, keterbatasan biaya internet/pulsa membuat mereka menjadi tidak bisa konsentrasi. Belum lagi jika gurunya memberi tugas bertubi-tubi, sementara interaksi secara langsung antara pendidik dan peserta didik menjadi kurang efektif, antara sesama peserta didik, belajar bersama, berdiskusi, memecahkan masalah bersama, bermain bersama, semua menjadi sirna selama pandemi.
Kini waktunya pendidik mulai berpikir dan bertindak cepat untuk menyiapkan Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM). Belajar memang harus menyenangkan (joyfull learning) dan semua itu tergantung pada kompetensi guru masing-masing untuk mengolah dan menyajikan pembelajaran yang kreatif dan inovatif. Pendidikan tidak harus selalu berorientasi akademik dan guru menjadi terpaku kaku dengan kurikulum. Memaknai pembelajaran yang penting fokus dan dapat menuntaskan materi sesuai waktu yang ditetapkan.
Padahal ada kebutuhan peserta didik di luar akademik, seperti berpikir atau bernalar praktis dan pragmatis yang harus diketahuinya, sehingga ketika mereka terjun ke masyarakat nantinya tidak canggung. Dengan dibekali kemampuan komunikasi, kolaborasi dan adaptasi yang baik niscaya mereka akan survive. Memperhatikan  keterampilan-keterampilan, soft skill, bakat/minat dan talenta masing-masing peserta didik adalah tugas pendidik. 'Semua guru -- semua murid'; guru bergerak, semua bergerak sehingga kapal pendidikan Indonesia maju. Keberhasilan bukanlah milik orang pintar, keberhasilan adalah kepunyaan mereka yang senantiasa berusaha.
Selanjutnya, kapan sekolah tatap muka dimulai? Jawabannya sangat terkait dengan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 4 Â sampai kapan diperpanjang, atau sampai dinyatakan sudah menurun ke level 2 atau 1. Mas Menteri Nadiem A. Makarim menyatakan bahwa kegiatan pembelajaran di Tahun Ajaran baru 2021/2022 bersifat dinamis. Pembelajaran tidak berlangsung hanya dengan satu cara, yang penting tetap mengutamakan keselamatan dan kesehatan warga sekolah. Di samping keputusan mau Pembelajaran Tatap Muka (PTM) atau PJJ berada di tangan orangtua peserta didik, artinya melibatkan partisipasi/ijin orangtua.
Mengingat dalam PTM terbatas tidak ada lagi acara-acara menarik seperti ekstrakurikuler  dan lain-lain yang biasanya disukai anak-anak, maka mau tidak mau guru harus dapat mengemas pembelajaran yang menarik, menantang, mengasyikkan, misalnya diselingi games atau permainan edukatif sehingga dapat menambah gairah peserta didik dalam menuntut ilmu. Bagaimanapun juga joyfull learning sudah jadi kebutuhan dunia pendidikan. Kesemuanya itu hendaknya sudah harus dikomunikasikan mulai sekarang. Berjuanglah untuk beradaptasi dengan keadaan baru sehingga anak tidak mengalami HSP (High Sensitive Person).
Apa itu HSP? HSP adalah suatu teori yang dikemukakan oleh psikolog Elaine Aron, yakni suatu kondisi psikologis di mana seseorang memiliki kepekaan atau sensitivitas berlebih dibandingkan orang-orang pada umumnya. Orang dengan kepribadian ini berjuang untuk beradaptasi dengan keadaan baru (new normal). Mungkin ia akan menunjukkan respon emosional yang tampaknya tidak sesuai dalam situasi sosial dan mungkin dengan mudah menjadi tidak nyaman  dalam menanggapi stimulasi tertentu.
 Pandemi covid-19 nyatanya berdampak bagi siapa saja, tidak hanya pada orang dewasa, anak-anak pun rentan mengalami dampak akibat pandemi, salah satunya adalah stres. Perubahan yang tiba-tiba membuat anak mengalami rasa takut, khawatir, hingga gangguan kecemasan. Orangtua dan guru perlu memastikan kesehatan mental anak selama menghadapi pandemi covid-19 dalam kondisi baik dan optimal, supaya anak tetap memiliki kualitas hidup yang baik. Adapun yang dimaksud dengan baik di sini adalah anak dapat tumbuhkembang dengan normal dan tetap mampu bersosialisasi dengan teman-temannya, tetap merasa aman, walau berada di rumah yang sangat terbatas pergaulannya.
Untuk mengatasi hal tersebut orangtua dapat menggunakan aplikasi video call atau diperbolehkan telpon dengan durasi waktu tertentu agar anak tetap terhubung dengan teman-temannya. Sedangkan untuk kebugaran fisiknya, orangtua dapat mengajak berolahraga ringan setiap harinya, karena dengan gerakan fisik dapat membantu meningkatkan suasana hati menjadi tenang dan menurunkan stres yang dialami oleh anak. Orangtua juga dapat melibatkan anak untuk menikmati musik kesukaan keluarga dan menyediakan waktu sejenak untuk mengeksplorasi kegiatan yang menjadi kesukaannya.
Itulah beberapa hal yang perlu dipersiapkan untuk memasuki hari depan yang penuh harapan. Bagaimanapun juga anak adalah generasi penerus yang kelak membuat Indonesia maju. Jadilah orangtua di rumah dan guru-guru di sekolah sebagai pendidik-pendidik profesional yang selalu siap menjalani tantangan, jadilah agile learner (pembelajar yang lincah) yang siap menghadapi Revolusi Industri 4.0.