Mohon tunggu...
E HandayaniTyas
E HandayaniTyas Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

BIODATA: E. Handayani Tyas, pendidikan Sarjana Hukum UKSW Salatiga, Magister Pendidikan UKI Jakarta, Doktor Manajemen Pendidikan UNJ Jakarta. Saat ini menjadi dosen tetap pada Magister Pendidikan Program Pasca Sarjana Universitas Kristen Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nyalakan Terus Api Harapan

5 Agustus 2021   19:52 Diperbarui: 5 Agustus 2021   19:58 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Masih segar diingatan kita semua warga negara Indonesia, peristiwa gegap gempitanya olympiade Tokyo 2020 yang baru-baru ini kita saksikan bersama melalui layar televisi di rumah kita masing-masing, yaitu kemenangan pasangan ganda puteri badminton Greysia dan Apriyani. Ke dua pahlawan bulu tangkis ini setelah ditetapkan kemenangannya oleh yuri, bersama dengan pelatihnya di telpon langsung (video call) oleh Bapak Presiden Joko Widodo, yang merasa begitu bangga karena lagu Indonesia Raya berkumandang di Jepang dengan diperolehnya medali emas di ajang yang sangat bergengsi itu.

Kemenangan itu adalah hasil namun, keberhasilan yang gemilang itu tentu tidak tiba-tiba (ujug-ujug) diterima dengan mudah melainkan perlu proses yang begitu panjang dan sangat-sangat mendebarkan. Bermain long set, apalagi detik-detik ketika set ke dua berlangsung. Serasa seluruh bangsa Indonesia menahan nafas seraya menaikkan doa dengan caranya sendiri-sendiri. Dan...pertandingan memperebutkan juara I itu benar-benar perlu perjuangan dan kegigihan serta keuletan 100%, artinya totalitas. Usaha plus doa sama dengan berhasil! Puji syukur!

Lihatlah reaksi spontan dari ke duanya (Greysia dan Apriyani), luapan perasaan yang luar biasa itu tidak saja diekspresikan pemenang, akan tetapi juga merupakan luapan dan ungkapan syukur seluruh rakyat Indonesia. Dalam sebuah pertandingan memang hanya ada dua kemungkinan, yaitu menang atau kalah dan barangsiapa menaruh harapan dan tidak mudah menyerah tentu ada rasa puas tersendiri. Oleh karena itu marilah kita terus menyalakan harapan optimis dan berpikir positif. Selalu membangkitkan harapan positif dan kemudian menularkannya ke seluruh lingkungan tempat kita berada.

Dengan komunikasi, kolaborasi dan semangat gotong royong seluruh bangsa Indonesia, ditambah dukungan doa dan harapan untuk menang niscaya keberhasilan terbayang nyata di depan mata. Mengacu pada pendapat Langston Huges: "Peganglah impianmu erat-erat, karena jika impianmu itu padam, hidup terasa seperti burung yang tidak lagi bisa terbang". Semua berawal dari mimpi, bermimpilah besar dalam keadaan tidak tertidur, bekerja keras dan bekerja cerdas untuk mewujudkan mimpi itu, niscaya keberhasilan dapat diraih.

Ijinkan penulis menyampaikan kisah berikut; ada 4 lilin yang menyala di dalam satu ruangan. Kemudian satu per satu mulai padam, singkat cerita tinggal satu lilin yang masih menyala. Tiba-tiba seorang anak memasuki ruangan tersebut dan sambil menangis terisak-isak karena takut kalau-kalau lilin yang menyala tinggal satu itu ikut padam juga. Namun, seorang bapak datang dan memeluk anak itu sambil mengatakan: "Jangan menangis anak ku, selama masih ada lilin yang menyala maka kita pasti dapat menyalakan ke tiga lilin yang padam itu, percayalah!

Itulah sikap optimis yang harus selalu ditanamkan dan ditumbuhkembangkan disetiap hati/pikiran anak-anak Indonesia. Sebagai pendidik, penulis pada kesempatan ini ingin mengutip pendapat Albert Einstein: "Adalah suatu kemampuan luar biasa dalam diri guru bila ia mampu menggugah rasa cinta anak didiknya akan daya cipta kreatif dan ilmu pengetahuan melalui usaha peningkatan ilmunya". Ke depan, Indonesia emas akan diisi generasi cerdas dan kreatif-inovatif, jujur, serta penuh kebersamaan. Pembelajaran abad XXI harus memenuhi kecakapan 4C, yaitu kecakapan (1) Creative; (2) Communication; (3) Colaboration; (4) Critical thinking.

Untuk dapat mewujudnyatakan kecakapan-kecakapan tersebut tentu harus ada dorongan, ada motivasi baik motivasi intrinsik maupun motivasi ekstrinsik. Mengacu pada ajaran Ki Hajar Dewantara maka tepatlah jika sekiranya setiap pendidik (guru/dosen) di Indonesia ini terus berjuang dan tetap menyalakan lilin-lilin harapan. Tiadanya harapan, mengakibatkan dunia pendidikan menjadi 'loyo', tidak bergairah, hilang semangat diterpa badai pandemi covid-19. Wabah corona yang berlangsung lama dan belum juga usai sampai kini benar-benar membuat dunia pendidikan 'pontang-panting'.

Oleh karena itu, semangat optimis, pikiran positif dan saling mendukung dalam perbuatan baik sangatlah diperlukan di saat-saat seperti ini. Pendidikan adalah tindakan cinta kasih dan karena itu juga merupakan tindakan berani. Pendidikan tidak boleh membuat orang yang mau menganalisis realitas menjadi takut, atau takut ditertawakan, sehingga menghindari diskusi kreatif; demikian Paulo Preire menuliskan dalam bukunya Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, halaman 38, PT. Gramedia, Jakarta, 1984). Unsur cinta kasih harus selalu ada dalam menddik anak manusia, melatih binatang pun harus didasari dan diawali dengan kasih sayang, karena secanggih apapun teknologi tidak akan dapat menggantikan peran guru. Akan tetapi perlu disadari bahwa guru yang tidak mampu dan tidak mau menggunakan teknologi, pasti segera tergantikan.

Guru di era melenial ini wajib hukumnya untuk beradaptasi dengan lingkungannya; antara lain: (1) Mengajar harus menyenangkan (joyfull learning); (2) Materi harus up date (tidak kuno); (3) Waktu pembelajaran tidak terlalu panjang; (4) Jangan pernah mendikte; (5) Menganut filosofi Konstruktivistis; (6) Berpikir dan bertindak kreatif dan inovatif; (7) Menggunakan media pembelajaran yang menarik dan menantang; (8) Menempatkan peserta didik pada pusat pembelajaran (Student Centre Learning), karena peserta didik adalah subyek dan bukan obyek.

Pendek kata, pendidik (guru/dosen) harus senantiasa belajar, kalau tidak mau belajar dan menambah pengetahuan artinya dia sudah berhenti jadi guru/dosen. Di era revolusi industri 4.0 ini memang bisa saja terjadi peserta didik (siswa/mahasiswa) lebih pintar dari guru/dosennya namun, guru/dosen harus lebih bijaksana, guru/dosen mulia dan dihormati karena karyanya.

Untuk mengakhiri tulisan ini, penulis mengajak kepada seluruh pembaca yang budiman: "Kita tidak harus berpikiran sama, tetapi marilah kita sama-sama berpikir untuk memajukan pendidikan di Indonesia". Bangkit dan terus jaga nyala api harapan!

Jakarta, 5 Agustus 2021

Salam penulis: E. Handayani Tyas; Universitas Kristen Indonesia -- tyasyes@gmail.com    

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun