Dewasa ini seluruh belahan dunia dihebohkan dengan genderang perang Amerika Serikat dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) atau yang sering kita sebut China. Sejak masa kampanye kepresidenan Donald Trump telah memberikan sinyal-sinyal yang akan mengarahkan perekonomian AS kepada proteksionisme lantaran memburuknya hubungan ekonomi antara AS-China yang mengarah kepada perang dagang.
Dalam usahanya, Trump menerapkan tarif impor sebesar US$50-US$60 miliar untuk sejumlah produk China demi menekan defisit neraca perdagangan kedua negara. Trump pun mengumumkan menaikkan tarif impor sebesar 15% untuk baja dan 10% untuk aluminium.
Selain dari menerapkan tarif bea masuk, AS juga mengambil langkah preventif dengan cara berencana untuk membatasi investasi karena menganggap negara tersebut bersikap tidak adil dalam perdagangan bilateral dan akan melaporkan China ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/ WTO). Tak sampai disana, Trump juga mengerahkan seluruh perusahaan yang memiliki ikatan bisnis dengan China pun langsung diputus.
Seperti contoh Google dengan Androidnya serta Qualcomm serta seluruh perusahaan AS yang bersangkutan dengan China, langsung diperintahkan untuk tidak mengirimkan barangnya kepada China. Untuk Google, lisensi Android pun langsung diancar akan diputus. Bila perusahaan-perusahaan AS tersebut diketahui masih memberikan celah kepada China, maka Trump tidak akan main main dengan mengancam akan menutup perusahaan tersebut. Dalam kasus ini, produk China yang dimaksud adalah produk Huawei yang dimana produk ini dalam beberapa quartal perdagangan, menjadi raja atau pemegang posisi teratas produk smartphone paling laris.
Yang dahulunya dipegang oleh Apple/ iPhone kini Apple berada di urutan kedua setelah Huawei. Mungkin dengan lengsernya posisi teratas iPhone karena digeser oleh Huawei, maka Trump merasa naik pitam hingga menerapkan hal-hal yang membuat api semakin membara dalam perselisihan perang dagang AS dan China.
Karena semakin menjadinya Trump dalam membuat kebijakan, China pun tak tinggal diam dalam hal ini. Bagaikan seekor serigala tidur yang sengaja diusik, maka China pun menerapkan bea tarif masuk terhadap produk impor AS sebesar 25% dan juga akan membawa kasus ini ke WTO. Dalam hal pengintimidasian AS terhadap produk China yaitu Huawei, China pun tak tinggal diam. Huawei tetap dapat berdiri sendiri mekipun telah tak diberikan lisensi dari Google.
China menerapkan sebuah (Operation System) OS besutan Huawei yaitu HongMeng OS. Bahkan OS besutan Huawei ini dikabarkan lebih cepat 40% hingga 60% dari Android yang dimiliki Google. Meski saat ini Huawei sudah tak menggunakan Android sebagai Sistem Operasinya justru Huawei terus melejit di deretan pertama Smartphone terlaris hingga saat ini. Hal ini telah membuktikan bahwa China juga tak tinggal diam dalam pertikaian dagang AS dan China.
Tidak hanya menuduh China telah melakukan hal yang tidak adil dalam perdagangan bilateral, Trump pun menuduh China telah mencuri kekayaan intelektual milik AS. Yaitu dengan cara meretas jaringan komputer sehingga AS merasa dirugikan ratusan miliar dolar. Trump mengatakan bahwa China telah memaksa perusahaan AS untuk menyerahkan kekayaan intelektual mereka melalui serangkaian kebijakan struktural oleh negara. AS memiliki bukti bahwa China menekan perusahaan-perusahaan internasional untuk melakukan transfer teknologi dengan mewajibkan mereka menciptakan kemitraan lokal agar bisa memasuki pasar China.
Hal ini memang benar adanya, bahwa peraturan pemerintahan China menerapkan sistem yang demikian. Apabila ada sebuah perusahaan dari luar China ingin memasuki pasar China, maka perusahaan tersebut tidak dapat berdiri sendiri kecuali dengan menggandeng salah satu perusahaan lokal milik China sendiri. Dalam hal ini, China memang terbilang banyak menangnya dari AS. Memang tak dapat dipungkiri bahwa ini yang menjadi alasan mengapa China bisa membuat barang yang sama dengan produk merk lain akan tetapi China tidak dituntut secara hukum karena pembajakan yang mereka lakukan. Itu semua karena telah disepakati oleh produk merk aslinya.
Kita ketahui bersama bahwa hampir bisa dikatakan seluruh pembuatan atau perakitan barang-barang elektronik dalam hal ini smartphone dilakukan di China. Alasannya adalah biaya perakitan yang jauh lebih murah dari pada negara-negara lain. Tak terkecuali produk iPhone yang dimana produk ini adalah produk milik salah satu perusahaan di AS yaitu Apple.
Dengan segala macam tindakan serta kebijakan Trump demi mengalahkan China, Trump sebenarnya juga akan merugikan dirinya sendiri. Sebab posisi Trump sebenarnya berada di antara dua ujung tanduk. Maju kena, mundurpun kena. Seperti itulah gambarannya. Mengapa seperti itu? Karena tidak dapat dipungkiri bahwa AS juga masih bergantung kepada China contohnya produk smartphonenya yaitu iPhone.
Apabila Trump terlalu menyudutkan China, bisa saja China tidak akan tinggal diam dan akan memutuskan hubungan kerja sama dengan Apple lagi. Dalam artian China sudah tidak akan merakitkan iPhone di negaranya. Lalu apa imbasnya terhadap AS? Maka produk iPhone akan dirakit di negara yang biayanya tentu akan lebih mahal dari China dan harga penjualannya pun akan justru lebih mahal karena biaya produksi yang lebih mahal.
Perselisihan antar kedua raksasa ekonomi dunia yaitu AS-China pasti tidak akan luput dari berimbasnya terhadap seluruh negara belahan dunia. Mengapa hal itu bisa terjadi? Karena kabarnya, selain kebijakannya terhadap China, Trump juga dikabarkan akan mencabut GSP (Generalized System of Preference) terhadap negara-negara yang mendapatkan GSP. Apa itu GSP? GSP adalah kebijakan perdagangan suatu negara yang memberikan pemotongan tarif bea masuk impor terhadap produk ekspor negara penerima.
Ini merupakan kebijakan perdagangan sepihak (unilateral) yang umumnya dimiliki oleh negara-negara maju untuk membantu perekonomian negara berkembang, tetapi tidak bersifat mengikat bagi negara pemberi maupun penerima. Mengapa Trump melakukan hal itu? Karena Trump ingin mengurangi tingkat defisit neraca perdagangan di AS yang kian memburuk. Hal ini sangat signifikan yang akan dirasakan oleh Indonesia salah satunya apabila GSP benar-benar akan dihapuskan.
Selain dari GSP yang dikabarkan akan dicabut, apa dampak dari perang dagang AS dan China? Selain dari GSP, hal yang merugikan juga akan dirasakan oleh nagara-negara yang pengekspor komoditas-komoditas bahan mentah ataupun semi-jadi. Mengapa? Karena kebijaka-kebijakan trump yang memutus hubungan kerjasama perusahaan AS dengan perusahaan China. Dalam hal ini contohnya adalah Qualcomm. Qualcomm adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang pembuatan Chipset atau Processor dari Smartphone. Apabila hubungannya dengan Huawei diputus, maka tingkat produksi akan menurun.
Oleh karena itu, karena permintaan dari Qualcomm akan menurun, maka negara-negara dengan produk ekspor komoditas mentah bahan pembuatan chipset pun akan menurun. Contoh kecilnya seperti itu. Jadi inilah sebabnya mengapa ekonomi indonesia akhir-akhir ini menurun dari pada tahun-tahun pada era Presiden SBY. Itu bukan serta merta kesalahan dari pemerintahan Presiden Joko Widodo. Melainkan efek dari perang dagang AS dan China yang harus kita antisipasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI