“Apabila datang bulan Ramadan, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu.” (HR Malik bin Anas, Muslim, an-Nasai, Ahmad bin Hanbal, al-Baihaqi, ath-Thabrani, dan ad-Darimi dari Abu Hurairah)
Aku pernah menyaksikan seorang penjaga warnet bersimbah darah di bulan Ramadan. Ia berjalan sambil memegangi kepala, darahnya mengucur ke pipi, menetes ke lantai. Dia lalu diantar ke klinik terdekat oleh seorang tetangga.
Sampai di rumah, seperti biasa aku berselancar di dunia maya sebelum tidur. Rupanya malam itu ada tiga kejadian serupa. Satu di warnet, dua di toko retail yang buka 24 jam. Ada catatan peningkatan tindak kriminal selama bulan Ramadan.
Peristiwa di bulan Ramadan sekitar empat tahun lalu itu sukses membuatku trauma selama beberapa pekan. Di kantor, ketika semua orang pergi ke gereja, kami, dua orang perempuan Muslim, belum pulang. Aku minta pintu gerbang dikunci. Pintu depan, jendela, semua dikunci karena aku takut ada penjahat yang tahu hanya ada dua perempuan di rumah itu.
Sepekan pertama aku tidak mau masuk ke toko-toko retail, apalagi warnet. Ketika pada akhirnya memberanikan diri masuk ke toko retail di siang hari, mataku selalu waspada pada setiap orang yang masuk. Begitu pula ketika masuk ke warnet.
Konsumerisme dan Kejahatan
Baru saja aku kembali berselancar, rupanya kondisi tak cukup berubah. Berita tentang meningkatnya angka kriminalitas selama Ramadan muncul dari tahun ke tahun.
Ketika menceritakan kejadian yang lalu, komentar yang muncul hampir seragam. Di bulan Ramadan, kebutuhan hidup meningkat sejalan dengan harga bahan makanan. Orang-orang perlu dana lebih untuk ‘merayakan hari kemenangan’.
Sampai di sini saya, seperti orang-orang, mempertanyakan siapa yang memulai memakai baju baru ketika lebaran? Siapa yang melanjutkan kebiasaan ini hingga seakan menjadi kewajiban? Siapa yang memulai tradisi berkunjung ke rumah sanak saudara harus membawa sekadar oleh-oleh, kenang-kenangan, atau amplop-amplopan? Siapa memulai perayaan dengan kemewahan? Kebiasaan!
Karena kebiasaan ini, tingkat konsumerisme masyarakat meningkat drastis selama Ramadan. Para karyawan mendapatkan tunjangan hari raya (THR) yang menjadi bahan bakar untuk berbelanja lebih banyak.
Orang perlu uang untuk pulang kampung. Sampai di kampung ia perlu memakai baju baru agar tak kelihatan melas di tempat perantauan. Tak cukup baju baru, sebagian yang sudah berkeluarga merasa perlu menyewa kendaraan atau kredit mobil baru. Masih tak cukup, orang merasa perlu membawa pakaian, makanan, serta lembaran-lembaran uang kertas yang masih fresh untuk dibagi-bagikan kepada tetangga.