Mohon tunggu...
Sri Handayani
Sri Handayani Mohon Tunggu... Editor - Social Media Marketing

I like to talk about psychology, education, language, health, art and culture, and technology

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Pernah Merasakan Terjebak Tilang Seperti Saya?  

11 Desember 2015   05:38 Diperbarui: 11 Desember 2015   05:44 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya berusaha tertib dalam berkendara di jalanan Jakarta. Selain tak ingin merogoh kocek karena kena tilang, saya juga berusaha mematuhi peraturan yang ada. Semacet apapun saya tidak masuk jalur busway. Kalaupun saya tidak sengaja masuk ke jalur tersebut, saya akan segera keluar.

Sudah berusaha berhati-hati rupanya saya tak terbebas dari yang namanya tilang. Ini kedua kalinya saya kena tilang di Jakarta. Dua-duanya saya merasa seperti jebakan. Sampai sekarang saya bingung, pengguna jalan yang salah atau polisi yang bebal dalam memasang rambu-rambu lalu lintas.

Pengalaman pertama saya kena tilang di kota ini terjadi di Jl. Letjen S. Parman, tepatnya di perempatan Tomang, dekat Taman Cattleya. Saya dan teman naik motor menuju Jakarta Barat untuk mencari kos-kosan. Kami baru pertama kali melewati ruas jalan tersebut.

Ada banyak jalan bercabang di situ, salah satunya masuk ke arah Toll Jakarta-Tangerang.  Memang di dekat itu ada petunjuk arah dengan banyak cabang, salah satunya bertuliskan “toll Jakarta-Tangerang”. Kami sempat ragu di cabang yang mana jalan toll tersebut.

Logika saya, umumnya pintu toll akan terlihat. Kalau tidak terlihat pintu toll, polisi biasanya memasang rambu dengan jelas bertuliskan “masuk toll”. Tapi di situ tidak ada tulisan, maka pikir saya, itu jalanan biasa (bukan toll).

Akhirnya kami berbelok ke kiri. Setelah terlanjur masuk, kami baru sadar bahwa itu jalan toll. Kami sempat bingung. Tak ada pilihan lain selain berbalik arah. Hebatnya sudah ada polisi yang menunggu kami. Di dekat situ kan memang ada kantor polisi.

Kami sudah berusaha menjelaskan bahwa kami baru pertama kali melewati jalur tersebut, tapi polisi itu berkata, “Kalau setiap orang baru lewat, trus nggak ditilang, kapan mau tertibnya?”

Ok, kami mematuhi prosedur yang ada dan menganggap itu kesalahan kami walau dengan hati dongkol.

Setelah itu, hampir setiap hari saya melewati lajur yang sama. Saya selalu was-was ketika sampai di perempatan Tomang. Jangan sampai masuk toll dua kali. Pernah suatu hari saya hampir masuk ke situ lagi, tapi segera sadar dan segera berbelok, lalu jalan lurus.  

Setelah berkali-kali, saya baru sadar bahwa permasalahan sebenarnya cukup sederhana. Tidak ada tulisan “masuk toll” yang umumnya terdapat di belokan-belokan jalan toll lain. Tulisan ini umumnya ada ketika pintu toll masih agak jauh dari ujung belokan, sehingga tak tampak. Ini lazim diberikan untuk memberikan peringatan kepada para pengguna jalan, “Jangan masuk atau berbelok di sini. Di depan sana ada pintu toll yang tidak kelihatan dari sini.”

Pengalaman ditilang yang kedua belum lama terjadi. Saya kena tilang ketika hendak pergi ke Kampus Yarsi di Cempaka Putih. Sampai di perempatan Senen, saya belok kanan. Saya juga baru pertama kali melewati jalur ini dengan motor.

Setelah belok kanan, ada dua plakat hijau dengan tanda anak panah ke kanan dan ke kiri. Keduanya menunjuk dengan jelas dua lajur yang berbeda. Tanda anak panah ke kiri menuju arah Bungur, sementara yang ke kanan menuju Cempaka Putih.

Saya merasa akan pergi ke Cempaka Putih, maka saya ambil lajur kanan. Asumsi saya, lajur kiri akan berbelok ke arah lain yang menuju Bungur.

Ajaibnya, saya memilih arah Cempaka Putih, lalu saya tiba-tiba saya sudah keluar di jalur khusus mobil. Ajaibnya lagi, sudah ada polisi menunggu di depan. Kena lagi dengan modus yang sama, batin saya.  

“Boleh lihat SIM-nya, Bu?”

Sembari mencari SIM, saya bertanya ke polisi yang bertugas menilang saya ketika itu. “Pak, saya tadi kan mengikuti arah panah ke Cempaka Putih. Kok bisa saya keluar di jalur mobil?”

“Nggak bisa, Ibu. Ibu nggak bisa lewat underpass. Semua sudah ada petunjuknya.”

Halah. Saya tidak banyak berdebat. Saya akhirnya ditilang dan segera berlalu.

Dalam dua kali tilang yang saya peroleh, sebenarnya, indikasinya sederhana. Saya tidak pernah ditilang sendiri. Di Tomang, ada tiga motor lain yang masuk jalur toll bareng dengan saya. Di Senen lebih banyak lagi, saya tidak menghitung. Kira-kira yang tidak bareng dengan saya ada berapa ya?

Ada beberapa pertanyaan di benak saya sejak saya kena tilang di Tomang. Apakah banyaknya pengguna jalan yang kena tilang di lokasi tersebut tidak cukup jelas mengindikasikan bahwa ada yang salah dengan petunjuk jalan yang ada? Tidak mungkin ada banyak orang sengaja masuk toll tanpa sebab. Berapa jumlah korban tilang di kedua lokasi tersebut setiap hari? Apa sulitnya sekadar memasang tulisan “masuk toll” di belokan menuju toll Jakarta-Tangerang tersebut? Kenapa itu tidak dilakukan?

Pertanyaan yang sama juga muncul untuk kasus di Cempaka Putih. Adanya polisi yang selalu berjaga di situ, apakah tidak mengindikasikan bahwa pelanggaran di situ cukup tinggi? Apakah polisi tidak menyadari kemungkinan adanya kesalahan dari pihak polisi sendiri?

Di kedua kasus tersebut saya tetap ditilang dan saya menerima tilang tersebut. Saya mengakui salah telah masuk toll, juga telah masuk ke jalur khusus mobil. Tapi, tidak lelahkah polisi untuk tak mau berbenah melihat banyaknya pelanggar setiap hari?

Memang ada dua sebab yang mungkin muncul jika melihat banyaknya jumlah pelanggar yang tertangkap. Pertama, polisi gencar dalam melakukan penertiban, sehingga banyak pula pelanggar terjaring. Kedua, masyarakat memang tidak ngeh dengan peraturan atau rambu yang ada. ini bisa terjadi karena mereka memang tidak tahu (malas belajar), mereka tahu tapi tetap melanggar, atau mereka tahu tapi tidak bisa menghindar (sebab terlanjur terjebak).

Dengan model-model jebakan macam di dua lokasi tempat saya kena tilang tersebut, saya setengah yakin polisi masih akan terus menemukan pelanggar-pelanggar di lokasi itu. Sampai rambu itu diperjelas, korban-korban masih akan berjatuhan. Memang polisi menang banyak. Pertama, tingginya pelanggar yang tertangkap, seperti saya sebut tadi, bisa mengindikasikan bahwa polisi gencar melakukan penertiban. Artinya kinerja polisi akan dinilai bagus. Kedua, pundi-pundi uang pelanggar mengalir dan terus mengalir, entah ke tangan polisi, kepolisian, atau kas negara. Sungguh indah.

Demikian sedikit curhat, kritik, dan saran saya. Saya berharap polisi (lalu lintas) mau berbaik hati, sehingga petunjuk di kedua lokasi itu segera diganti atau diperjelas. Jangan lama-lama, agar tidak seperti penggantian plat nomor saya (dan buanyak orang lain) yang harus ditunggu satu tahun atau lebih.

Selamat bekerja, jangan lupa sarapan, Pak Polisi.

  

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun