Malam lalu seorang teman membagikan tautan berita di grup alumni pers kampus kami. Bunuh diri mahasiswa. Terjadi lagi. Sepertinya tantangan mahasiswa sekarang ini memang semakin berat. Dulu mungkin mahasiswa masih sibuk dengan kuliah, biaya kuliah, dan sedikit kisah percintaan. Oya, organisasi, berbagai wacana, penelitian, diskusi, kajian, dan beberapa tetek-bengek lainnya.
Sekarang, masalah yang seabrek-abrek itu ditambah lagi dengan tuntutan gaya hidup (dan perkembangan teknologi) yang makin melangit. Tak cuma biaya buku, makan, dan transportasi, mahasiswa sekarang harus memikirkan biaya paketan internet karena semua tugas terkait dengan itu. Belum lagi tuntutan untuk bergaul seperti gadget, nongki-nongki gembira, survei tempat belanja, survei tempat makan baru, dan sebagainya, yang sebenarnya tidak terkait dengan dunia mahasiswa tapi kadang penting untuk bisa dibilang tetap eksis.
Bagi sebagian mahasiswa yang bisa beradaptasi dengan perubahan ini, atau mungkin karena kondisi yang memang mendukung, segala perkembangan itu justru menjadi peluang. Tak jarang dari hobi nge-gadget mereka mencetak pundi-pundi uang yang tak hanya cukup untuk membiayai kuliah tapi juga untuk tabungan masa depan. Dari hobi belanja mereka bisa membuka online shop, dari hobi makan mereka bisa jadi blogger, food reviewer, dan sebagainya. Bukan, ini bukan soal uang tapi soal adaptasi, kreativitas, produktivitas, dan kemampuan menangkap peluang.
Bagi sebagian lain yang tak mampu beradaptasi, perkembangan ini terasa menekan. Bagaimana rasanya ketika membiayai kuliah saja masih sulit, namun kita didesak dengan tuntutan bersosialisasi yang merogoh saku lebih dalam. Belum lagi masalah pacar. Belum lagi masalah keluarga. Belum lagi masalah pertemanan. Di satu sisi memang tekanan semakin besar, di sisi lain kemampuan untuk fight dalam kehidupan juga makin berkurang.
Ada yang memperparah kondisi ini. Sekarang batas masa studi mahasiswa hanya lima tahun. Menurut sebagian teman yang masih di kampus, ini membuat tekanan dari dosen dan keluarga semakin besar. Duh, tahu banget deh rasanya dikejar-kejar cepat-cepat lulus, ditanya-tanya sana-sini. Memuakkan!
Ada teman yang betul-betul menghindari pertanyaan semacam “sudah lulus belum?” Saya dulu cukup selow menghadapi pertanyaan semacam ini. Bukan berarti nggak bosen. Tapi saya menganggap pertanyaan itu normal karena memang saya belum lulus-lulus juga. Saya justru menceritakan hambatan apa yang dihadapi, sehingga teman bisa membantu dengan sedikit solusi. Kadang balasan yang diberikan memang terlalu normatif seperti, “Ayo semangat, kamu pasti bisa.” Tapi itu bisa dibilang keep me awake. Mereka seperti jam beker yang selalu bilang, “Kamu belum ngerjain skripsi, kamu harus ngerjain skripsi, ini waktunya ketemu dosen.”
Mendengar masalah mahasiswa yang segambreng tapi kita sendiri juga pernah mengalami, sebagian dari kita mungkin akan bilang, “Ya harus bisa bertahan dong, harus bisa fight, harus punya daya juang yang tinggi.”
Saya ingat salah satu nasihat yang mengatakan bahwa kemampuan setiap orang untuk bertahan dalam menghadapi satu kondisi itu berbeda-beda. Kita tidak dapat menggunakan kacamata kita pada orang yang berbeda level minusnya. Mungkin itu yang terjadi pada mereka yang akhirnya stres, depresi, terkena gangguan psikis, hingga yang bunuh diri. Mereka tidak mampu bertahan dalam kondisi yang bisa dihadapi oleh orang lain.
Stres, depresi, gangguan psikis, dan bunuh diri bisa terjadi pada siapa saja, di mana saja, kapan saja. Beberapa kasus menunjukkan pelaku bunuh diri muncul dari bos perusahaan multinasional. Beberapa kasus terakhir terjadi pada mahasiswa. Ada juga anak sekolah dasar yang mencoba bunuh diri namun gagal.
Lalu, coba lihat seberapa banyak orang dengan gangguan psikis yang pernah kita temui dalam hidup, berapa banyak yang akhirnya liar di jalan-jalan? Tak jarang dari mereka adalah orang-orang berpendidikan yang seharusnya bisa membawa keluarga mereka dan mungkin bangsa ini menjadi lebih baik. But it’s ended on their disorders.
Saya ingat sebuah cerita. Ketika itu seorang anak hendak pergi ke toko. Di tengah jalan ia melihat seorang pria duduk termenung di pinggir jembatan. Ia mendekati pria itu dan menyapa, “Are you okay?”