Mohon tunggu...
Sri Handayani
Sri Handayani Mohon Tunggu... Editor - Social Media Marketing

I like to talk about psychology, education, language, health, art and culture, and technology

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru Tegas Versus Guru Garang

2 Maret 2014   06:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:19 1129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengajar merupakan kegiatan utama bagi seorang pengajar, khususnya guru. Dalam kegiatan mengajar, seorang guru tidak selamanya mengalami masa-masa yang menyenangkan. Ada kalanya seorang guru mendapati kelas yang tenang dengan siswa yang cenderung dapat mengikuti pelajaran dengan lancar, namun pada saat yang lain ia harus berhadapan dengan kelas yang gaduh dan kurang dapat diatur. Bahkan, dalam satu kesempatan memasuki kelas sangat bisa dipastikan seorang guru akan menghadapi berbagai karakter murid yang berbeda, yang mungkin akan menimbulkan reaksi emosional yang berbeda pula ketika menghadapi mereka.

Dalam menghadapi kelas yang kurang tertib, di sinilah keterampilan guru dalam mengajar akan diuji. Pengetahuan yang baik tentang teori-teori pengajaran tidak selamanya bisa membantu dalam menghadapi kasus-kasus demikian. Namun, teori-teori pengajaran yang dianut oleh guru dapat menjadi ideologi mengajar bagi guru yang bersangkutan. Dengan kata lain, teori pengajaran bukan hal utama yang harus dikuasai oleh seorang calon guru, namun hal ini juga merupakan hal penting yang tidak dapat dikesampingkan.

Seringkali dalam menghadapi sikap-sikap yang tidak diharapkan dari siswa, guru bersikap tidak bersahabat, misalnya dengan mengucapkan kata-kata kasar, membentak, mencemooh, atau bersikap sinis terhadap siswa. Seringpula didapati guru yang memberikan cap ‘nakal’, ‘bandel’, ‘ngeyel’, dan menggunakan istilah-istilah lain terhadap siswa tertentu. Selain itu, guru sebagai manusia biasa terkadang juga membawa permasalahan pribadi di dalam kelas, sehingga mempengaruhi performa mereka ketika mengajar. Banyak guru akhirnya melampiaskan ketidakmampuan mereka menghadapi siswa dan kelas dengan memilih jalan bersikap ‘garang’. Alhasil, tidak sedikit guru mendapat julukan sebagai guru galak, killer, dan sebagainya.

Dalam menghadapi hal ini, siswa pun cenderung mengambil reaksi yang berbeda-beda. Ada siswa yang kemudian dapat menyadari kesalahannya setelah guru ‘marah’ di depan kelas. Tidak sedikit pula dari mereka justru mencemooh tindakan marah guru yang dianggap sebagai tindakan lucu. Pada umumnya akan didapati bahwa sebagian besar siswa akan menurut setelah guru marah atau membentak mereka. Namun, benarkah hal ini berdampak baik terhadap siswa?

Sikap ‘galak’ dan ‘garang’ guru yang banyak diberlakukan pada pengajaran-pengajaran konvensional dapat sangat berpengaruh terhadap proses pendidikan. Pertama, ini dapat menimbulkan asumsi guru sebagai komponen pendidikan yang terpisah dari siswa. Dengan adanya sikap ini terdapat semacam dinding maya yang membatasi hubungan guru dengan siswa. Siswa menjadi enggan untuk bersikap terbuka dan cenderung menghindar ketika mendapatkan permasalahan baik yang bersifat pribadi maupun yang berkaitan dengan kegiatan pengajaran. Pada siswa yang bisa bersikap terbuka, guru dapat berperan dalam membantu siswa menghadapi permasalahan tersebut. Namun, siswa bisa saja mencari berbagai pelarian ketika tidak mendapatkan tempat untuk mengekspresikan keterbukaan tersebut. Bentuk pelarian tersebut bisa kepada teman, hobi, olahraga, maupun hal-hal ekstrem seperti membolos, merokok, bersikap kasar, hingga penggunaan obat-obatan terlarang.

Kedua, sikap guru yang tidak bersahabat juga dapat memberikan imej guru sebagai pihak yang ditakuti, bukan disegani. Pada usia dini, anak-anak cenderung bersikap sesuai dengan apa yang diinginkan guru. Ketika mendapati guru memberikan perintah dengan nada tinggi misalnya, sangat mungkin siswa akan melakukan pekerjaan yang diperintahkan. Namun, bisa jadi hal ini hanya merupakan tindakan untuk menyenangkan guru, bukan tindakan yang benar-benar ingin dilakukan oleh siswa. Bukan tidak mungkin hal ini dilakukan dengan disertai rasa terpaksa, takut, atau bahkan tertekan.

Ketiga, hal ini tidak sesuai dengan konsep pengajaran pada anak-anak, yaitu bahwa dunia anak-anak adalah dunia bermain. Pembelajaran pada anak-anak seharusnya bersifat menyenangkan dan dapat dirasakan sebagai proses bermain. Proses pendidikan yang dilakukan lebih bersifat pengenalan dan penanaman, bukan merupakan satu bentuk pengajaran formal seperti yang dilakukan pada tingkat menengah atas atau perguruan tinggi. Oleh karena itu, guru pun harus bersikap sebagai teman belajar sekaligus bermain bagi siswa, bukan seorang guru kelas semata.

Seringkali guru melakukan tindakan kurang bersahabat terhadap siswa, dengan dalih bersikap tegas. Tegas dan garang merupakan dua hal yang jelas berbeda. Sikap tegas tidak menyakiti atau memberikan rasa tertekan terhadap siswa, namun dapat memberikan kontrol terhadap mereka, sedangkan sikap garang cenderung memusuhi dan menimbulkan jarak antara guru dan siswa. Sikap tegas diambil dengan pemikiran matang untuk tujuan proses pendidikan, sedangkan sikap garang lebih banyak merupakan dominasi emosi yang dilakukan sebagaian pelarian atas ketidakmampuan guru dalam menjalankan manajemen kelas. Sikap tegas cenderung membuat kelas menjadi lebih tertib dan teratur, sedangkan sikap garang cenderung menimbulkan suasana kelas yang menegangkan.

Yang penting untuk diingat adalah bahwa dunia dan kehidupan terus berkembang, begitu pula manusia yang ada di dalamnya. Sistem yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan berubah pula sesuai dengan perkembangan jaman. Anak-anak pada masa sekarang memiliki karakteristik berbeda dengan anak-anak pada jaman dahulu. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai hal, termasuk perkembangan informasi dan teknologi. Oleh karena itu, anak-anak pada masa ini tidak dapat dipaksa untuk mengikuti sistem pendidikan yang mungkin berhasil diterapkan pada anak-anak di masa lalu. Anak-anak masa kini harus dipandang dari sisi mereka sendiri dan ditangani berdasar apa yang mereka hadapi pada masa kini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun