Mohon tunggu...
Handaka Mukarta
Handaka Mukarta Mohon Tunggu... Masinis - peziarah batin

Non schola sed vitae discimus

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Valentine, Angpao & Bekakak

15 Februari 2011   22:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:34 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap tahun, warga Ambarketawang, Gamping, Sleman Yogyakarta menyelenggarahan upacara saparan Bekakak.  Upacara dilakukan utk menghormati ketulusan, pengabdian & kesetiaan Ki Wirasuta, abdi dalem Hamengkubuwono I. di akhir ritual, sepasang boneka ketan di sembelih sampai mengucurkan "darah merah". Kematian tragis dalam ritual Bekakak mirip kisah heroik Valentine di akhir abad V. Valentine dalam tradisi barat dikenang dan dijadikan simbol kesetiaan dan cinta kasih. Kenapa Valentine, mengapa bukan Romeo & Juliet? Tak ada seorangpun bisa mengatur kemauan sejarah. Awalnya, Valentine usaha menggantikan perayaan pagan jaman Romawi. Mirip inovasi Sultan Agung mengganti sejumlah tradisi hinduistik menjadi tradisi kraton yg berwarna islam (dan dalam batas tertentu, tetap kejawen). Saat ini, perayaan Valentine bukan bagian tradisi gereja. Orang merayakan Valentine bukan karena pengorbanan atau keterikatan sejarah dng mas Valentine, seperti dalam tradisi sembelih Bekakak. Orang merayakan Valentine karena membutuhkan icon, simbol-simbol seperti coklat, bunga, ungkapan-ungkapan khas utk menyampaikan pesan. Valentine sama seperti Halloween, Thanksgiving, tak lebih festival rakyat. Dalam festival rakyat, sejarah tak lagi penting, kekinian yang penting. Peristiwa masa lalu dipakai utk mengartikulasikan nilai-nilai yg relevan utk saat ini. dalam konteks tsb, Valentine dirayakan sebagai hari cinta kasih. Apakah valentine hanya utk pemuda-pemudi ? tidak. Diberbagai tempat, valentine dirayakan semua umur dan kalangan. Orang tua menyatakan cinta kasih kepada anak-anaknya, anak-anak diajar "mengungkapkan" cinta kasih kepada orang tua, guru, teman-teman dng berbagai simbol seperti coklat. Kartu ucapan. Cinta kasih seorang anak dng ungkapan, "Daddy is my Valentine" Apakah valentine identik dengan pesta liar yg melanggar sopan-santun dan tatakrama ? tergantung siapa yg melakukan. Kalangan yg terbiasa hidup bebas merayakan seturut tradisinya, dng atau tanpa Valentine's day. Kalangan yg menjunjung tinggi tata krama akan berlaku sesuai dng tata kramanya. Bagi mereka yang beranggapan apa yg dari barat selalu buruk, haram, bejat dan rendah. Itulah yang terjadi, paling tidak dalam benaknya. Karena persepsi sudah seperti agama. Agama sendiri sebuah persepsi. Kalau pokoknya sudah tidak suka. Terjadilah. Mengapa Valentine's day haram bagi sejumlah kelompok ? Saya tidak tahu. Tiap kelompok bisa memiliki argumen sendiri-sendiri, tergantung alasan mana yang dia sukai. Gereja orthodox disalah satu propinsi di Rusia juga melarang perayaan Valentine. Mengatakan Valentine's day sbg tradisi kristen hemat saya sama saja mengatakan Halloween sebagai tradisi kristen. Pesta yg mengingatkan orang pada Hantu, Setan, Penyihir. Semata keduanya lahir di Barat. Bahwa kemudian orang menarik pesan positif  peringatan Valentine dan mengkaitkan dng nilai-nilai luhur, itu jamak. Itulah pentingnya simbol & konteks. Upacara atau festival. Perhelatan untuk memproduksi makna. Tanpa pemaknaan, simbol tak lebih kejadian biasa yg tak ada kaitan dng kehidupan kita.  Apa yang salah dengan rasa cinta kasih kepada kekasih, pasangan, keluarga, sesama, orang tua ? Melihat sejumlah status teman dan berbagai suara di mayapada ini yg begitu beragam, sebagian tampak begitu alergi thd valentine, saya cuma bisa menduga. Mungkin penolakan itu sebuah kebajikan atau bahkan ibadah, bahkan sebagai bagian menegakan hukum agama, dengan harapan berkat tentunya. Tanpa memberi label haram, umat kristen sudah pasti tidak merayakan Idul Fitri. Bagaimana bisa? namanya juga beda agama. Tanpa dikotbahi, anggota pramuka tidak mungkin berangkat latihan dengan baju renang, kecuali bagian dari pertunjukan.  Tidak merayakan bukan berati tidak bisa mengucapkan selamat, sebagai sebuah tata krama sosial. Tapi obrolan dmk cuma melelahkan dan tak ada ujung pangkal.

Valentine tak ubahnya penghargaan orang thd AnjingHachiko yg legendaris dalam masyarakat jepang. Patung didirikan guna memperingati  kesetiaan seekor anjing pada tuannya. Tanpa harus jatuh pada "pendewaan" atau "penyembahan" patung anjing, icon anjing dipasang di sebuah halaman stasiun guna mengingatkan orang akan nilai-nilai kesetiaan. Kesetiaan Hachiko tentu bisa digugat. BukankahHachiko sebenarnya anjing yang bodoh, yg tidak tahu arti kematian dan kepergian untuk selamanya ? Kalau itu terjadi pada seorang manusia, hachiko sudah pasti dicap orang gila. Itulah simbol. Ada perluasan makna dan penyempitan. Simbol baru memiliki makna setelah berada dalam sebuah konteks. Konteks Valentine's adalah persoalan masa kini. Apa yg ingin disegarkan, dihangatkan melalui perayaan Valentine?

Tradisi adalah kearifan dari masa lalu yg muncul lewat simbol-simbol. Menabukan simbol-simbol, bisa jadi hanya dilakukan mereka yg tidak memahami tradisi. Apalagi bukan tradisinya.  Sebelum berangkat les Piano,  anak saya sore tadi membawa sebatang Coklat utk guru pianonya. Bingkisan coklat itu, ujarnya seusai latihan, telah membawa keceriaan di hati anak saya, bagaimana justru putra-putrinya ibu guru yg justru excited dng sebatang Silverqueen. Tentu, sebatang coklat hal biasa dan mudah ditemukan di mini market. Juga bukan buah tangan yg istimewa. Namun pada saat yang tepat, ia bisa membawa pesan yg pas sesuai momennya. Berbagi sukacita. Ia melakukan hal itu demi mengingat guru les Inggris dulu. Tiap Imlek, tante memberikan angpao, amplop merah, kepada murid2 termasuk anak kami. Nilainya tak seberapa. Uang saku untuk anak-anak. Tapi maknanya luar biasa. Valentine, dan simbol-simbol lain, termasuk uang. Selalu berada dalam artian nominal dan nilai-nilai atau makna. Angpao, coklat, bekakak, bunga tak lebih sebuah simbol. Tapi yang tak lebih itu, seringkali dilebih-lebihkan. Baik yang pro maupun kontra. Entah ketakutan thd neraka atau harapan masuk sorga. Astaga, dasar manusia! :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun