Paris yang masih bau kencur ketika itu, tentu tak sefilosofis Alceste dalam memaknai hidup. Ia sama sekali tak menyadari bahwa kepolosannya telah dimanipulasi. Apapun keputusan yang nanti dia ambil, tentu akan berakibat pada kekecewaan dua dewi yang lainnya. Dan kekecewaan seorang perempuan, apalagi seorang dewi, adalah benih kepedihan hari depan. Tetapi Paris bukan Alceste. Dia tidak lari dari dilema pilihan yang membelitnya.
Lalu Paris memutuskan memilih Venus sebagai dewi yang paling berhak atas apel emas rebutan itu. Dia yang sedari bayi hidup terasing di tengah hutan, merasa tak lagi membutuhkan kekuasaan ataupun kebijaksanaan. Sebab, sesungguhnya kebebasan sejati tak membutuhkan kekuasaan; kemerdekaan yang hakiki tak lagi membutuhkan kebijaksanaan dengan lika-liku tafsir yang berbelit-belit atas hidup.
Pemuda Paris mungkin tak setangguh Che kala dihadapkan pada keindahan seorang wanita. Paris, dan juga seperti kita semua saat ini, membutuhkan cinta. Meski di dalam cinta juga bercokol kemunafikan, sebagaimana sang dewi cinta Venus pernah melalukan perselingkuhan dengan Mars, yang berujung pada konspirasi terbuangnya Hepaesthus ke pulau buangan.
Itulah keputusan atas pilihan Paris, siap dengan segala konsekuensi hari depan. Sebab baik buruk, benar salah, terang gelap adalah terminologi yang gampang terlupakan. Tak abadi. Satu hal yang pasti, keputusan hari ini menentukan hari depan, keadaan hari ini merupakan akibat dari keputusan masa silam. Kekuasaan, kebijaksanaan, dan cinta takkan langgeng jika meninggalkan dewi perselisihan. Pertentangan harus tetap ada, karena peradaban dibangun dari situ. Dari tesis ke anti-thesis tak bertepi.
Dari Rosario Argentina ke Cuba, menyeberang ke Kongo, berlanjut ke Vietnam, menyusup ke Palestina sebagai Sayyid Mansour, dan banyak negara, lalu berujung dieksekusi mati di Bolivia. Potret ziarah panjang pencarian cinta yang diyakini sebagai titik tertinggi dalam hidup. Dari Troya ke Sparta menjemput Helena yang terkungkung dalam genggaman kekuasaan Menelaus. Dari risau hati lalu menjemput mati seperti Sondang dan Alceste.
Keputusan adalah hasil dari pemaknaan logika atas realita. Selalu berbeda tiap manusia. Berbahagialah anda jika masih bisa membuat keputusan sendiri. Selamat memilih dari begitu banyak opsi. Tanggalkan kemunafikan, lakukanlah dengan cinta, sebagai hasil dari revolusi diri.
SEKIAN
Hancel Goru Dolu [Dante Che], 12 September 2014
NB: Tulisan ini sedang ikut lomba di situs Arthinkle dengan tema "Keputusan Terbaik": http://www.arthinkle.com/articles/detail/keputusan-antara-revolusi-dan-cinta
Twitter: @HancelGoruDolu