Saya tetap diantar oleh kawan ke bandara. Melihat saya menggunakan dua kruk dengan kaki masih berlapis perban, petugas keamanan bandara langsung peduli. Mereka segera menawarkan bantuan kursi roda dan mengizinkan kawan saya menemani sampai counter check-in. Namun saya tetap memilih menggunakan kruk saya.
Check-in cukup mudah karena saya memiliki fasilitas keanggotaan platinum. Namun ketika saya minta pindah kursi ke bagian depan, ternyata sang petugas menyatakan hal itu harus dilakukan saat check-in online. Saya tidak bisa pindah karena kursi telah terisi oleh penumpang lain.
"Saya tidak menemukan dalam aplikasi untuk dapat fasilitas khusus disabilitas" ujar saya kepada petugas.
"Ya, bapak ketika selesai membeli tiket dapat segera check-in online sehingga bisa mendapatkan kursi di depan.  Dari kategori tiket, bapak sebenarnya juga bisa memilih kursi paling depan", jelas petugas tadi.
"Walaupun keadaan saya seperti ini, saya tidak bisa dapat kursi prioritas?", saya masih mencoba bernegosiasi. Posisi kursi hanya bisa dipesan saat check-in online, jika mau di depan maka harus jauh-jauh hari check-in dan tidak ada fasilitas khusus bagi para disabilitas untuk posisi kursi. Begitulah kira-kira pemahaman saya dari penjelasan petugas tadi.
Saya tidak ingin berdebat panjang dan dikasihani. Saya terima tidak dapat kursi di bagian depan.
Karena kondisi kaki saya ini, maka saya dipindahkan oleh petugas check-in ke kursi dekat lorong. Mungkin petugas maskapai berpikir saya akan kesusahan jika duduk dekat jendela.
Selanjutnya, saya mendapatkan pelayanan cukup bagus. Setelah berpamitan dan berterima kasih kepada kawan saya yang mengantar, petugas segera menyediakan kursi roda untuk saya. Proses masuk ke ruang tunggu cukup lancar, lapor ke bagian kesehatan,  kemudian menunggu untuk boarding. Semua mendapatkan bantuan kemudahan oleh para petugas.
Boarding dibantu oleh petugas dan prioritas masuk pertama ke dalam pesawat. Keadaan saya sebenarnya bisa berdiri memakai satu kaki sehingga saya sesungguhnya bisa saja dengan mudah masuk dan duduk di kursi dekat jendela. Namun karena saya tidak menginformasikan kepada petugas check-in tadi, saya terima saja ditempatkan di kursi lorong.
Nah, keadaan ini ternyata merepotkan, baik bagi saya, juga bagi dua penumpang yang duduk di sebelah saya. Saat mereka hendak duduk, saya bagaimanapun harus mengangkat sandaran tangan kemudian memutar posisi duduk saya agar mereka bisa masuk. Begitu pun saat mereka keluar. Saya merasa kasihan juga sama penumpang sebelah saya. Mungkin mereka menahan untuk tidak ke toilet selama penerbangan hampir tiga jam ini, karena melihat kondisi saya tersebut.
Singkat waktu, pesawat mendarat dan penumpang siap-siap keluar. Di sinilah kerepotan terjadi lagi. Saya harus berusaha menghentikan laju para penumpang yang duduk di belakang saya, agar memberikan kesempatan kepada penumpang di sebelah saya untuk keluar dari tempat duduk mereka, menuju lorong pesawat. Dan, kita semua tidak tahu kenapa orang selalu merasa tergesa-gesa ketika mau keluar dari pesawat.